“Hei, selamat datang. Kamu anak baru ya?” sapa seorang ibu bertubuh gemuk.
Aku mengangguk sambil menyambut uluran tangannya. “Iya. Namaku Nov.”
Dia tersenyum. Senyum yang sangat memikat dan juga menular. “Tiva.”
Aku juga disapa oleh penghuni lainnya. Untunglah,aku langsung mendapat teman disini.
“Eh, kamu harus hati-hati ya disini.” Ibu itu berbisik pelan kepadaku. “Pengunjung disini suka memperkosa barang baru seperti kamu ini.”
Aku terhenyak beberapa saat. Tidak menyangka langsung ditembak dengan perkataan seperti itu. Mustahil rasanya hal seperti itu bakal terjadi di tengah keramaian seperti ini.
Aku berusaha menyungging senyum. “Semoga itu tidak terjadi kepadaku, Bu,” ucapku pelan.
Dia hanya mengedikkan bahunya dan kembali memandangi pengunjung.
Kerumunan orang semakin ramai memenuhi tempat ini. Di ujung sana, ada tiga orang pemuda yang berjalan mendekatiku.
“Eh lihat tuh. Masih baru nih kayaknya. Harus dicoba dulu,” kata seorang pemuda dengan wajah menyeramkan. Wajahnya berwarna merah, penuh oleh tonjolan-tonjolan yang seakan siap meledak.
“Lo amati sekitar. Pastikan keadaan aman.” Kawannya yang berambut gondrong mengulurkan tangannya, hendak membekapku.
Astaga. Sepertinya perkataan Ibu tadi benar. Aku akan diperkosa. Aku melihat sekelilingku dengan liar, berusaha melarikan diri. Tapi mereka telah mengepungku. Aku tersudut. Temannya yang satu lagi, Si rambut jabrik segera meraih badanku dan membawaku ke tempat sepi, sementara teman-temannya berjaga di sekitarnya. Salahku juga mengenakan pakaian transparan seperti ini.
Ibu Tiva hanya memandangiku nanar. Pandangannya seakan mengatakan, “Maaf, aku tidak bisa menolongmu.”
“Nanti kalau lo udah selesai, gantian ya,” bisik si wajah menyeramkan.
Aku bergidik mendengar kalimat itu. Kupandangi si jabrik dan si gondrong bergantian. Aku memohon, memelas, menangis, tapi mereka tidak menghiraukan. Hati mereka seolah terkunci.
Di sekitar kami, orang berjalan lalu lalang. Mereka hanya melirik sekilas ke arahku namun tidak bertindak untuk menyelamatkanku. Dimana hati nurani manusia jaman sekarang?
“Hai manis. Aromamu sangat menggoda. Kamu tahu? Aku gampang terangsang dengan aroma seperti ini.” Wajah si jabrik membentuk sebuah seringai menyeramkan.
Dia mulai menggerayangi badanku. Menjamah semua bagian tubuhku satu persatu. Bagian depan dan belakang tidak luput dari jamahan tangannya yang kasar.
Ahhhh. Apakah itu desahanku? Tidak mungkin aku menikmati perlakuannya.
Jari-jarinya menelusuri setiap jenjang tubuhku. Dengan satu tarikan kecil, dia membuka pakaianku mulai dari atas. Aku mulai menangis, berusaha berontak, tapi tenaganya terlalu besar.
“Haha. Benar-benar mulus.” Dia membelai tubuhku. Sentuhan itu mengirimkan sengatan listrik ke sekujur tubuhku.
“Ahhhhh. Hentikann. Ohhhh.”
Dia membuka pakaianku perlahan-lahan. Menikmati setiap koyakan dan tarikan yang dia lakukan kepadaku. Benar-benar iblis.
Dia tersenyum. Seakan mengagumi hasil karyanya. Atau lebih tepatnya, mengagumi tubuhku yang sudah telanjang bulat. Aku berusaha sebisa mungkin menutup tubuhku. Aku malu diperlakukan begini.
“Ekhm, Mas.” Tiba-tiba seorang cowok berseragam muncul di belakangnya.
“Selamatkan aku. Tolong..” rintihku.
Cowok itu menunjuk diriku, “Membuka bungkus buku, berarti beli ya, Mas. Silakan segera bayar di kasir.”
Jabrik dan gondrong hanya cengengesan. Muka mereka memerah, seperti kepiting rebus. Sedangkan si wajah menyeramkan telah melarikan diri. Huh, kenapa mereka semua tidak dihukum saja? Masalah pemerkosaan selesai hanya dengan membayar. Negara macam apa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar