Cerita Tita: Diperkosa Anak SMP (1)

Ingin hati berbuat baik, namun nasib sial yang aku dapatkan. Aku dijadikan bulan-bulanan oleh segerombolan ABG–ABG smp yang moralnya kurang bagus. Kejadian ini terjadi pada tanggal 13, dimana ada kepercayaan bahwa angka tersebut membawa kesialan. Aku memang tidak percaya dengan hal-hal seperti itu. Tapi sepertinya hari tersebut memang benar-benar hari yang sial untukku. Hari itu aku yang sedang libur ingin jalan-jalan ke mal di dekat rumahku. Karena hari itu cukup panas, aku hanya mengenakan kaos pendek warna ungu yang ketat, rok pendek warna putih dan tentunya tas kesayanganku yang selalu setia menemaniku bepergian.

Ketika aku sedang menunggu angkot, aku melihat di seberang jalan ada anak kecil sedang menangis, kelihatannya ia ditodong oleh seorang anak SMP. Suasana saat itu memang cukup lengang, sehingga mempermudah anak SMP itu untuk melakukan kejahatan.

“Tolong… Tolong…” Aku berteriak kencang berusaha memancing perhatian orang-orang sekitar.

Untungnya teriakanku berhasil menarik perhatian beberapa tukang ojek yang mangkal tidak jauh dari tempat kejadian. Hal tersebut tentunya membuat anak SMP itu menghentikan aksinya dan segera kabur. Anak SMP itu sempat melihat sekilas ke arahku sebelum masuk ke dalam sebuah gang kecil, namun aku tidak memperdulikannya. Kulihat anak yang ditodong tadi masih menangis ketakutan, maka aku mendekati anak itu dan mencoba menenangkannya.

“Dik, sekarang sudah nggak apa apa kok. Jangan nangis lagi yah” kataku sambil berjongkok dan membelai rambutnya. Anak kecil itu memelukku dengan kencang, kubiarkan ia menangis sampai akhirnya ia mulai tenang dalam pelukanku.

“Siapa nama kamu Dik?” Aku bertanya padanya dengan lembut.
“Tony Kak…” katanya dengan suara sengau karena habis menangis.
“Rumah kamu di mana? Biar Kakak antar ya?” tanyaku.

Ia menyebutkan sebuah alamat, yang ada di dekat sini. Lalu kuantar dia pulang, dan kebetulan yang membuka pintu itu adalah mamanya.

“Tante, tadi kebetulan aku melihat Tony lagi menangis. Takut kenapa-kenapa, maka aku antar pulang dia pulang,” kataku.

“Aduh, terima kasih banyak ya Mbak. Mari masuk dulu, Tante buatkan minum…” kata Ibu itu padaku.
“Oh, nggak usah Tante, terima kasih banyak. Saya sedang ada keperluan…” aku menolak halus.
“Oh ya sudah. Oh iya, nama Tante, Linda. Siapa nama Mbak?” tanya Bu Linda sambil mengulurkan tangannya.
“Tita Tante…” aku menjawab sambil bersalaman.
“Terima kasih banyak ya Mbak Tita, kapan kapan mampir ke sini ya” kata Bu Linda.
“Iya Tante. Tita pamit dulu yah,” aku berpamitan, lalu aku kembali berjalan ke tempat aku menunggu angkot tadi.

Hatiku terasa senang, mungkin karena baru saja berbuat baik, tak terasa aku senyum-senyum sendiri. Selagi aku berjalan, aku mendengar deru kencang sepeda motor menuju ke arahku. Aku menoleh ke arah suara itu karena takut tertabrak. Namun tak diduga, aku melihat anak SMP yang tadi menodong Tony duduk di belakang motor tersebut sambil melihat tajam ke arahku. Aku agak tegang ketika sepeda motor itu melambat. Apakah anak SMP itu akan berbuat jahat karena aku tadi menggagalkan rencananya? Tiba tiba anak SMP itu turun mendekatiku, dan belum sempat aku berbuat apa-apa, aku dikejutkan oleh benda keras yang menempel di perutku.

“Jangan teriak dan jangan macam macam kalo Mbak mau selamat!” jantungku serasa mau berhenti karena ketakutan ketika anak SMP itu mengancamku.

Suasana sekitar yang sepi membuat aku tidak berani berbuat macam-macam. Aku sempat memperhatikan kalau sepeda motor itu dikendarai oleh anak berseragam SMP juga. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya karena ia mengenakan helm yang ada kacanya.

“Cepet naik…!!” bentaknya lagi.
“I-iya…” kataku dengan terpaksa.

Aku melangkah ke sepeda motor itu dengan panik. Dan aku menjerit kecil ketika tiba tiba anak SMP itu menaikkan rokku sampai ke pinggang hingga celana dalamku terlihat. Tapi kurasakan tekanan pisau itu makin keras, dan aku takut sekali kalau sampai pisau itu melukaiku.

“Ayo cepetan naik!!” bentak pengendara sepeda motor itu.

Tanpa berani membantah aku menaiki sadel belakang sepeda motor itu. Setelah aku duduk di belakang, mendadak kurasakan badanku tertekan ke depan, rupanya anak SMP yang tadi menodongku ikut naik di belakangku juga, sehingga sekarang aku terjepit di antara dua anak SMP ini.

Sepeda motor itu melaju kencang membawaku ke daerah yang belum aku kenal. Tapi satu hal yang pasti aku akan mengalami nasib yang buruk. Anak SMP yang duduk di belakangku mulai meremasi kedua payudaraku dari belakang serta terkadang mengelusi pahaku yang mulus. Aku diam saja dan tak berani melawan karena teringat dia sedang memegang pisau, selain itu aku takut kalau sampai jatuh dari sepeda motor ini. Setelah sekitar setengah jam, ternyata mereka berhenti di sebuah rumah kosong.

Aku tercekat melihat sudah ada tujuh anak lagi yang juga masih berseragam putih biru yang sudah menunggu di tempat itu. Rupanya mereka sudah merencanakan ini semua. Mereka yang sudah menunggu di tempat ini bersorak senang ketika melihatku yang sudah menjadi tawanan ini. Aku mulai membayangkan apa yang akan dilakukan oleh anak-anak yang masih SMP ini terhadap diriku?

“Hebat juga lo Bud! Ternyata lo beneran bisa dapet cewek cakep! Wah, pasti enak banget ngentot cewek kayak gini…!” kata salah seorang dari mereka.

Jantungku berdetak kencang mendengar ucapan kurang ajar dari anak-anak SMP ini. Tapi aku hanya bisa menahan rasa jengkel karena tidak bisa melakukan apa-apa. Pujian bahwa diriku menarik di mata mereka tadi sama sekali tak membuatku senang. Tadinya mulai ada perasaan sedikit menyesal karena aku telah mengganggu ‘acara’ Budi tadi. Aku sempat berpikir ternyata tidak selamanya niat baik akan berakhir baik pula, namun akhirnya aku dapat berbesar hati menghadapi ini semua.

“Iya dong Sul! Bukan Budi namanya kalo gak bisa dapetin cewek cakep…” kata anak SMP yang menodongku tadi sambil terus menggerayangiku dengan nada bangga.

“Tapi lo tadi gagal gara-gara cewek ini kan Bud? Hahaha…” kata salah seorang dari mereka sambil tertawa keras.

Tiba-tiba kurasakan remasan yang sangat kasar pada kedua payudaraku oleh Budi yang membuatku menggeliat dan mengaduh.

“Aduh sakit…” aku mengeluh.

“Gila! Emang bener Bud, cakep juga nih cewek!” kata seorang lagi sambil memandangiku seolah ingin menelanjangiku.

“Iya bener Har, asli cakep!”
“Bening banget…!”
“Ayo cepetan dong bawa ke tengah sini!”
“Saatnya balas dendam, Bud!”
“Nggak sia-sia juga kita-kita nungguin lo dari tadi.”

 Demikian seruan-seruan yang kudengar, selain itu tentu saja tawa kegirangan dan melecehkan.

“Ayo cepetan turun!” bentak anak yang mengendarai sepeda motor setelah membuka helmnya sehingga aku bisa melihat wajahnya yang buruk, tidak berbeda jauh dengan Budi.

Begitu aku turun, anak SMP yang bernama Budi tadi, segera menyeretku ke arah teman temannya yang sudah terlihat tidak sabar. Aku hanya bisa mempercepat langkahku supaya tak jatuh terseret oleh dia. Berikutnya aku sudah berada di tengah kerumunan mereka, anak-anak SMP yang melihatku dengan pandangan penuh nafsu.

“Jangan! Tolong lepasin aku…” aku mulai mencoba memohon pada mereka.

“Kalian boleh ambil uangku, tapi tolong lepasin aku…” kataku lagi mencoba menawarkan kompensasi pada mereka supaya aku dibebaskan. Aku berharap semoga saja mereka bisa berubah pikiran.

“Mbak jangan ngimpi deh…!” bentak Budi.

“Saya nggak butuh duit! Berani beraninya Mbak udah gangguin acara saya tadi! Mbak udah nurunin harga diri saya di depan mereka karena nggak berhasil ngedapetin duit dari anak kecil tadi. Sekarang saya mau Mbak bayar pake harga diri juga, yaitu pake badan Mbak. Pokoknya Mbak harus bisa puasin kami semua…” Budi berkata sambil memandangiku, entah dengan penuh kemarahan atau penuh nafsu birahi, yang jelas pandangannya itu amat menakutkanku.

Aku bergidik menyadari keadaanku sekarang ini. Mereka makin mendekat, dan aku hanya pasrah ketika tiba-tiba tanganku sudah terentang, kedua pergelangan tanganku dipegangi oleh orang di kanan kiriku. Seseorang dari mereka mendekapku dari belakang, menghirupi rambutku yang tergerai bebas dengan nafasnya memburu, kurasakan sekali kalau ia begitu bernafsu. Dua dari mereka, yang tadi sekilas kutahu namanya Sul dan Har itu, mendekat dan meremasi kedua payudaraku.

Mendapat perlakuan seperti ini, tubuhku semakin lemas, tubuhku rasanya panas dingin. Apalagi ketika orang yang mendekapku dari belakang itu menyibakkan rambutku, dan menciumi leherku dengan nafas memburu. Kini keadaanku sudah pasrah saja. Aku memejamkan mata dan membiarkan sembilan anak SMP ini berbuat apa saja yang mereka inginkan terhadap diriku.

“Siapa nama Mbak?” tanya salah seorang dari mereka.
“A-aku Tita…” jawabku lemah.
“Mbak Tita masih kuliah ya?” aku mendapat pertanyaan lagi.
“Aku… U-udah kerjaaa… Aaaah…” jawabku sambil mendesah ketika kurasakan banyak sekali telapak tangan yang merabai seluruh tubuhku.
“Wah! Kita beruntung banget bakalan bisa ngentotin cewek kantoran nih! Mana tampangnya imut banget lagi…!!” kata anak yang lain lagi.
“Kalo kami sih masih kelas dua SMP. Tapi dijamin deh kami bisa muasin Mbak…” sahut seseorang lagi.
“Mbak Tita suka ya main rame-rame gini? Sampe ngedesah-desah gitu…” entah siapa lagi yang bertanya, aku tak tahu karena aku sedang memejamkan mataku.

Dera kenikmatan yang melanda tubuhku ini makin bertambah ketika kurasakan kedua payudaraku kembali diremas-remas entah oleh siapa, dan mendatangkan perasaan yang sangat nikmat di sekujur tubuhku.

“Emmmhhh…” aku tak tahu harus menjawab apa, dan malah melenguh menahan nikmat ketika kurasakan sebuah tangan menyusup masuk ke celana dalamku.

Dengan cepat vaginaku sudah ditusuk dan diaduk-aduk oleh jari tangan itu yang membuat kakiku mengejang, jelas sekali saat itu aku sedang dilanda kenikmatan. Kudengar sorakan senang dan bahkan beberapa dari mereka menirukan lenguhanku, bersahut-sahutan. Mukaku rasanya panas dilecehkan seperti ini, tapi aku tahu penderitaanku baru akan dimulai.

“Kok celana dalem Mbak udah basah aja sih!? Pasti Mbak Tita keenakan yah…” kudengar suara Budi yang disambut tawa teman-temannya.

Aku membuka mataku, dan memang ternyata Budi yang sedang mengaduk-aduk vaginaku. Jarinya mengaduk semakin dalam, seolah hendak mengorek seluruh cairan cintaku. Aku hanya bisa menahan rasa malu, sementara Budi terus mengaduk aduk vaginaku dengan penuh nafsu. Rasanya sakit walaupun bercampur sedikit nikmat.

“Memek Mbak Tita baru dipegang saya aja udah basah gini. Jadi pengen liat kalo Mbak udah dientot sama kami bersembilan nanti bakal basah kayak gimana yah?” kata Budi dengan nada yang melecehkanku juga.

Membayangkan diriku akan diperkosa beramai-ramai oleh mereka bersembilan yang baru kelas dua SMP ini, entah kenapa perasaanku seperti tersengat listrik. Dipermalukan seperti itu, entah kenapa kurasakan adukan Budi pada vaginaku tak terasa begitu sakit lagi, dan nikmatnya semakin menjadi jadi. Walaupun aku sudah berusaha bertahan supaya tak terlihat murahan di depan mereka, tapi lama-kelamaan nikmat yang menderaku membuat aku tak bisa menahan diri lagi, tubuhku menggeliat hebat.

“Emmmhhh… Oooohh… Emhhhhhh…” aku terus melenguh tanpa bisa kutahan.

Kalau saja tidak ada yang menahan tubuhku, aku yang hampir mencapai orgasme waktu sedang berdiri seperti ini, pasti sudah terjatuh. Sekarang ini aku merasa sangat lemas, dan tak ada perlawanan apapun dariku ketika Budi merobek celana dalamku. Lalu Sul dan Har juga mulai menarik paksa kaosku ke atas hingga kedua tanganku terangkat. Akhirnya kaosku sudah terlepas seluruhnya dari tubuhku dan mereka melemparnya ke lantai. Mereka semua hanya tertawa- tawa melihat kepasrahanku.

Untung saja kaosku tidak sampai dirobek. Tak lama kemudian braku juga direnggut putus, hingga aku tinggal mengenakan rokku saja. Aku dengan reflek menutup kedua payudaraku dengan kedua telapak tanganku, tapi aku malah semakin dilecehkan oleh mereka.

“Nggak usah pake ditutup segala Mbak! Nanti semuanya pasti kebagian ngisep toket Mbak Tita kok…” ejek Sul.
“Udah, tarik juga roknya sekalian! Kalo dia masih sok-sokan nutupin toketnya, robek saja sekalian roknya!” perintah Budi pada teman-temannya.

Mendengar kata-kata Budi, aku terpaksa menurunkan tanganku dan membiarkan payudaraku jadi tontonan sembilan anak-anak ini. Tanpa perlawanan aku membiarkan rokku dilucuti hingga jatuh ke bawah, dan aku melangkahkan kakiku ke belakang hingga mereka bisa mengambil rokku itu.

Setelah prosesi penelanjangan terhadap diriku sudah selesai, kini tinggal sepatuku yang masih melekat di kakiku, sedangkan tubuhku dari lutut ke atas sudah tersaji polos di depan mereka. Mereka melempar-lemparkan semua bagian pakaianku ke pojok ruangan ini, termasuk juga tas milikku yang sudah sejak tadi jatuh ke lantai. Lalu kesembilan anak SMP ini mulai menelanjangi diri mereka.

“Bud, lo yang pertama deh…” kata Sul.

Budi segera mendekatiku, dan aku sempat melihat penisnya yang ternyata sudah ereksi itu.

Tak terlalu panjang, mungkin hanya 12 cm. Diameternya pun cuma di kisaran 2 cm. Penis itu sudah tegak mengacung ke atas. Budi ini tingginya sekitar 155 cm, sedikit lebih pendek dariku yang memakai sepatu ini. Wajahnya hancur- hancuran, agak bopeng dan bau badannya sungguh tidak enak. Aku harus bersiap, karena penderitaanku akan segera dimulai. Aku berusaha membiasakan diri dengan bau itu.

“Kalau ngentot sama cewek yang kayak gini, nggak perlu pakai kondom kayak kalo kita ngentot perek kan!?” tanya Budi ke teman-temannya sambil membelai rambutku.
“Setujuuu…!!” mereka menjawab dengan serempak.

Aduh! Berarti aku harus menyiapkan vaginaku untuk menampung semprotan sperma mereka semua. Aku tahu pasti, perkosaan ini tak akan hanya berjalan satu ronde saja. Tapi aku berpikir, paling tidak meskipun selama ini mereka sudah pernah main dengan PSK, tapi ternyata mereka menggunakan kondom waktu bersetubuh. Jadi paling tidak aku tak perlu kuatir dengan kemungkinan tertular penyakit kelamin, dan ini membuatku sedikit tenang.

Budi perlahan mulai memelukku, dan kemudian mengecup bibirku. Aku diam saja, tak tahu harus bagaimana. Budi terus mencumbuiku, menciumi bibirku, dan akhirnya ia melesakkan lidahnya ke dalam mulutku dan bibirku dipagutnya dengan ganas. Aku gelagapan, air liur Budi terus membanjir masuk ke dalam mulutku, hingga mau tak mau aku terpaksa mengesampingkan rasa jijik dan menelannya kalau tak mau tersedak.

Lidahku dan lidah Budi bersentuhan sesaat, dan Budi ini, entah belajar dari mana, ia benar benar menaklukan aku sekarang ini, membuatku bereaksi di luar kesadaranku. Aku melingkarkan tanganku di lehernya, dan membalas permainan lidahnya. Kami bercumbu layaknya seperti sepasang kekasih saja.

“Bud, jangan lama-lama!”
“Gue juga mau nih!”
“Kapan giliran kami semua Bud?” semuanya menggerutu dengan nada iri.

Budi menghentikan cumbuannya padaku, hingga aku membuka mataku.

“Mbak Tita cakep banget…” gumam Budi, membuatku tesipu malu dan memalingkan wajahku.
“Sul, Kahar, bantu gue…” Budi memanggil teman-temannya.

Setelah mereka mendekat, Budi menyuruh mereka berdiri di kedua sisiku, kemudian Budi mulai mengatur, tangan kananku dilingkarkan di leher Sul, sedangkan tangan kiriku dilingkarkan di leher Kahar.

“Sekarang angkat pahanya Mbak Tita! Kangkangin yang lebar…!” kembali Budi memerintah mereka.

Tampaknya Budi ini ketua gerombolan anak-anak SMP bejat ini. Kini aku sudah dalam posisi yang tak berdaya, dimana kedua tanganku yang melingkar di leher Sul dan Kahar itu tak mungkin kulepas kalau aku tak ingin jatuh. Sedangkan kedua pahaku sudah terangkat dalam posisi melebar, hingga vaginaku sekarang sudah tersaji sempurna untuk Budi, dan wajahku yang panas ini sama sekali tak bisa kusembunyikan.

Sul dan Kahar yang memegangi kedua pahaku dengan satu tangannya, menggunakan tangan mereka yang satunya, meremasi payudaraku. Selagi aku menggeliat lemah, Budi mendekatiku. Aku agak tenang, ternyata mereka tak sekasar yang kuduga. Saat aku mempersiapkan vaginaku untuk menelan penis si Budi ini, tak kuduga, Budi berjongkok, dan kepalanya didekatkan ke vaginaku. Budi mulai menjilati vaginaku yang pasti masih berlumur cairan cintaku.

“Ssshh… Ooooh…” aku mendesah dan mengerang.

Kurasakan nikmat yang luar biasa saat cairan cintaku diseruput habis dan vaginaku disedot sedot oleh Budi. Nafasku mulai tak beraturan, dan aku memandang Budi dengan sayu, penuh harap ia akan segera memulai semua ini. Tapi dasar anak SMP, mana dia tahu aku sudah amat terangsang seperti ini? Aku juga tak bisa memintanya, bagaimanapun aku juga tak ingin terlihat murahan di depan mereka.

Budi masih terus mempermainkan vaginaku, kali ini dengan lidahnya. Aku memejamkan mataku, nyaris tak kuasa menahan gairahku ketika lidah itu melesak-lesak ke bagian luar dari liang vaginaku. Tubuhku bergetar kecil, dan nafasku semakin tersengal-sengal. Sul dan Kahar tertawa mengejek melihat keadaanku, tapi aku sudah tidak mampu mengontrol diriku, bahkan aku mencoba menggerak-gerakkan pinggulku, mencoba mencari kepuasanku sendiri saat lidah Budi terus mengaduk liang vaginaku.

Selagi aku dalam keadaan terangsang hebat seperti ini, tiba tiba kurasakan rambutku disibakkan dari belakang, dan kembali aku merasakan leherku dicium dengan lembut. Kini aku sudah di ambang batas orgasme, dan aku mati-matian bertahan supaya tidak cepat orgasme. Setiap kali aku orgasme, itu berarti menguras staminaku, sementara aku masih harus melayani delapan orang lagi, dan entah berapa ronde lagi yang harus kulalui untuk memuaskan mereka bersembilan ini.

Tapi apa daya, dirangsang di beberapa tempat sekaligus, mulai dari ciuman pada leherku, belaian pada rambutku, remasan lembut pada payudaraku, dan adukan lidah Budi pada vaginaku, akhirnya pertahananku bobol juga.

“Ngghhh… Nnggghhh… Aauuugghh… Aaaaahhhh!!” aku melenguh dan mengerang ketika aku mencapai orgasme untuk pertama kalinya.

Kudengar kembali suara menyeruput, kini memang cairan cintaku yang membanjir itu sedang diseruput habis oleh Budi. Terdengar suara seperti orang yang menyeruput minuman yang hampir habis, dan ini amat membangkitkan gairahku. Setelah beberapa detik tubuhku mengejang-ngejang, akhirnya aku terkulai lemas. Kembali aku memandang Budi dengan sayu, berharap ia mengerti keinginanku sekarang ini. Aku menjadi sedikit senang sekaligus tegang, saat Budi tiba tiba berdiri, dan mengocok penisnya sebentar. Akhirnya ia akan memulai semua ini. Benar saja, sesaat kemudian, ia menggesek-gesekkan kepala penisnya pada bibir vaginaku, dan ia menatapku dengan pandangan yang sangat bernafsu.

“Mbak Tita, saya masukin sekarang yah…” Budi meminta ijin kepadaku.

Sekarang ini aku sudah terbakar nafsu dalam kepasrahanku, bukan karena yang lain. Tapi aku tak mengubah sikapku, aku hanya menatap sayu dan berbisik lemah “Terserah kamu aja…”

Perlahan Budi melesakkan penisnya yang mulai membelah liang vaginaku. Sorakan dan ejekan teman-teman Budi sudah tak terdengar lagi, semua memperhatikan prosesi menyatunya tubuh kami berdua ini. Walaupun penis itu tidak terlalu besar, tetap saja ada sensasi tersendiri yang kurasakan ketika penis itu sudah tertelan seluruhnya di vaginaku.

“Mmmhh…” aku melenguh pelan.
“Enak ya Mbak?” tanya Budi padaku tanpa ada nada yang melecehkan seperti sebelum sebelumnya.

Aku mengangguk lemah, dan memejamkan mataku dan menunduk, rasanya malu juga tadi aku mengangguk begitu saja. Budi mengangkat daguku, kemudian mencium bibirku, kurasakan kemesraan dalam ciuman itu. Aku mulai melayaninya, membalas ciumannya. Budi pun juga mulai menggerakkan tubuhnya perlahan, hingga penisnya mulai menggesek gesek liang vaginaku. Rasanya nikmat sekali, sedangkan sakit yang kurasakan sangat sedikit, bahkan bisa dikatakan nyaris tak ada.

Hal ini mungkin karena aku sudah terbiasa dengan rasa sakit yang terjadi saat vaginaku menelan penis yang jauh lebih besar dan panjang dari penis anak SMP ini, walaupun harus kuakui penis Budi ini amat keras, nyaris sekeras milik Amar, adik laki-lakiku. Sementara itu, bagian tubuhku yang lain mulai menerima rangsangan kembali, membuat aku semakin tenggelam dalam nafsu birahi.

“Memek Mbak Titaaa sereeeet bangeeettt…” erang Budi.
“Oooh… Enaaak bangeeeet…!” Budi mulai meracau.

Aku cuma bisa mendesah dan mengerang lemah saat penis Budi semakin cepat mengaduk-aduk vaginaku. Kudengar Budi sendiri terus mengerang, dan erangannya itu makin keras. Tampaknya ia akan mencapai orgasme sebentar lagi. Benar saja, beberapa saat kemudian, penisnya berkedut dalam vaginaku, dan ia mengerang keras.

“Oooh… Mbak Titaaa… Saya keluariiiin di dalem yaaah…” baru selesai berkata begitu ia menyodokkan penisnya dalam-dalam dan sekali lagi ia mengerang panjang, mengiringi semburan spermanya ke dalam vaginaku.

“Dasar! Ngapain tadi pake minta ijin segala untuk mengeluarkan spermanya di dalam vaginaku? Toh baru saja dia selesai bicara, spermanya sudah menyemprot deras membasahi vaginaku. Untung saja, aku tidak dalam masa suburku, kalau tidak amit-amit deh harus hamil oleh benih anak SMP yang mukanya parah ini…” gumamku dalam hati.

Budi yang sudah mendapat jatahnya menikmati tubuhku, kini menarik lepas penisnya dari vaginaku. Aku tidak mengalami orgasme kali ini, tadi Budi hanya menggenjotku tak sampai 5 menit. Mungkin karena ia sudah terangsang sejak dari awal ia meremasi payudaraku di sepeda motor tadi. Sul dan Kahar meletakkanku di atas selembar tikar butut, dan mereka bersama 6 rekannya itu berunding, pastinya menentukan siapa yang beruntung mendapat giliran selanjutnya untuk menikmati tubuhku ini.

Kini aku berbaring telentang di atas tikar butut ini. Selagi mereka berunding, Budi mendekatkan penisnya ke mulutku. Aku tahu apa keinginannya, dan aku segera mengulum penis itu, memainkan lidahku menyapu seluruh lingkar penisnya, membuat Budi mengerang ngerang keenakan. Kubersihkan seluruh sisa sperma yang bercampur cairan cintaku dari penis itu, sampai penis itu benar benar mengecil.

Budi bergerak sedikit menjauh dariku, dan kini ia hanya diam saja, memandangiku dengan tatapan aneh. Dia sama sekali tak menyinggung tentang keperawananku. Aku berpikir untuk mempermainkannya karena dia juga menyakitiku dengan membuatku menjadi budak seks dirinya dan teman-temannya ini. Aku balas menatapnya dengan sayu, seolah aku amat menginginkannya, sampai ia mengalihkan tatapan matanya dariku, kulihat jelas ia tersenyum malu. Dalam hati aku menertawakannya karena berhasil membuat Budi malu.

Tiba tiba kudengar suara, “Mbak Tita, saya Darso. Saya mau nyobain memek Mbak ya…”.

Aku menoleh, dan kulihat Darso sudah berancang ancang menerjangkan penisnya ke dalam vaginaku. Dasar, mau memperkosaku saja pakai permisi segala. Biar aku nggak mengijinkan pun dia pasti tetap akan memaksaku melayaninya juga. Aku sempat memperhatikan penis itu, ternyata nyaris serupa ukurannya dengan milik Budi.

“Sssssssh…” aku mendesah ketika lagi-lagi liang vaginaku harus menelan batang penis.

Perlahan Darso menggenjotku, dan semakin lama semakin cepat. Aku pasrah saja, membiarkan ia menikmati remasan otot liang vaginaku pada batang penisnya, dan aku merasa tak ada salahnya kalau aku menikmati saat saat vaginaku diaduk-aduk seperti ini, toh percuma juga aku melakukan perlawanan. Daripada aku merasa menderita, lebih baik aku menerima semua ini dan kalau perlu menikmatinya.

Aku mulai memperhatikan wajah Darso ini, dan menurutku termasuk tak penting untuk dilihat. Memang ia tak bopeng, tapi udah deh, benar benar jelek. Untungnya Darso melakukan ini dengan terburu buru, ia tak mencumbuku sama sekali, keliatannya ia hanya sekedar ingin memuaskan dirinya saja. Baru beberapa menit, Darso sudah mulai mendengus dengus, dan kurasakan penis Darso sudah berkedut kedut.

“Oooh… Eenaaak…” erangnya saat penisnya menyemburkan sperma berulang-ulang membasahi vaginaku.

Darso langsung mencabut penisnya dari vaginaku, dan aku belum sempat berbuat apa apa ketika Sul mengambil gilirannya, tanpa basa-basi lagi ia langsung menerjangkan penisnya ke liang vaginaku. Aku sedikit terhenyak, kurasakan penis Sul ini sedikit lebih panjang. Tak tahu berapa panjangnya, tapi pasti lebih panjang dari Budi ataupun Darso. Aku menggeliat lemah, dan Sul tersenyum bangga melihatku bereaksi atas sodokannya, berbeda dengan serangan Darso tadi yang menurutku termasuk ringan-ringan saja.

Sul merendahkan badannya, hingga ia bisa mengecup bibirku sambil menyetubuhiku. Aku memejamkan mataku, mencoba menikmatinya.

“Mbak Tita, nama saya Sul…” bisiknya.

Aku tak bereaksi, hanya sesekali menggeliat ketika tusukan penis Sul ini membuatku keenakan.

“Enak ya Mbak??” bisiknya lagi.

Aku membuka mataku, mengangguk lemah. Kini kenikmatan sudah menderaku, membuatku tak bisa berpikir jernih lagi. Ketika ia mengecup bibirku, aku membalas ciumannya tanpa diminta. Sul terus menyetubuhiku, sekali ini aku merasakan persetubuhan yang cukup lama. Mungkin sudah lebih dari 10 menit. Selama itu Sul tak henti-hentinya mencumbuiku yang kurasakan begitu mesra. Meskipun aku merasa hal ini aneh dan lucu, tapi aku pikir ada untungnya juga. Setidaknya kalau mereka semua begini, aku mungkin tak akan mendapatkan perlakuan kasar dari mereka, padahal tadi waktu pertama aku dikerumuni dan dibentak-bentak serta dilecehkan oleh mereka, aku merasa amat takut.

Mungkin karena sudah cukup lama digenjot, kini kurasakan vaginaku mulai berdenyut denyut, jantungku mulai berdetak lebih cepat, dan nafasku juga mulai memburu. Remasan lembut pada payudaraku yang dilakukan Sul membuatku semakin merasa melayang ke awang-awang.

Aku merintih perlahan ”Ooooooh…”

Sul berbisik di telingaku “Sakit ya Mbak?”.

Aku spontan menggeleng lemah, mataku kembali kupejamkan erat erat, aku berusaha menikmati semua ini. Kini ganti leherku yang diserang Sul dengan kecupannya, sedangkan genjotannya pada vaginaku tidak kendur sama sekali, membuatku menggelinjang tak karuan. Ketika Sul menarikku duduk di pangkuannya, penisnya menancap semakin dalam ke liang vaginaku.

Tanpa ampun lagi aku melenguh-lenguh Emmhh… Ooooooh… Ampuuuun…”

Tubuhku berkelojotan, kakiku melejang-lejang, sungguh aku nyaris tak kuat menahan kenikmatan ini, tubuhku rasanya hampir meledak oleh nafsu birahi ini. Tapi Sul belum selesai. Selagi aku melingkarkan tanganku memeluk lehernya, ia terus menggenjot vaginaku. Gejolak orgasmeku belum selesai ketika Sul kembali mengecup bibirku, dan mendadak aku balas memagutnya dengan ganas, hingga Sul kewalahan dan roboh. Kini aku yang menindihnya, dan aku menaik turunkan tubuhku sendiri supaya liang vaginaku terus diaduk oleh penisnya Sul.

Membayangkan aku masih harus melayani lima orang lagi, aku malah makin liar meliuk-liukkan tubuhku, mengendarai penis Sul yang kini mulai mengerang keenakan. Rupanya ia tak tahan juga, tak lama kemudian kurasakan penisnya berkedut-kedut, tubuhnya bergetar getar dan seiring dengan erangan panjang dari Sul, kurasakan semprotan sperma dari penisnya yang bertubi-tubi dan membuat vaginaku terasa hangat dan nyaman.

“Plop…” demikian bunyi yang kudengar ketika aku mengangkat tubuhku sampai penis Sul terlepas dari vaginaku.

Begitu aku tiduran, sudah ada teman Budi yang mengambil posisi di selangkanganku, dan aku hanya bisa membuka pahaku lebar lebar, bersiap menerima sodokan pada liang vaginaku.

“Hai Mbak Tita, saya Rangga…” katanya sambil membenamkan penisnya ke dalam liang vaginaku.

Aku tak bereaksi, dan Rangga ini mulai menggenjot liang vaginaku dengan cepat. Aku diam saja, mencoba menghemat tenagaku, kurasakan penis yang sedang menerjang vaginaku ini ukurannya termasuk kecil, harusnya lebih kecil dari punya Budi. Masuk akal, karena memang Rangga ini tubuhnya jauh lebih pendek dariku. Kini baru aku merasa seperti disetubuhi oleh anak kecil, membuatku geli juga. Rangga terlihat keenakan selagi menggenjot vaginaku, matanya merem melek dan ia mulai meracau penuh kenikmatan.

“Oooohhh… Memek Mbak kok bisa enaaaak ginii…??” Rangga terus mendesah nikmat.

Aku tak memperdulikannya. Memang aku merasakan penisnya lagi menyodok vaginaku dengan cepat, tapi mungkin karena ukurannya kecil, aku tak begitu terpengaruh. Kini aku kembali mencoba menggoda Budi. Aku menatapnya sayu, seolah aku sedang menginginkannya. Dalam hati aku kembali tertawa melihat Budi salah tingkah, ia tak kuat membalas tatapanku. Tiba tiba kudengar Rangga mengerang dan begitu penisnya berkedut, kurasakan kembali vaginaku harus menelan sperma.

Ketika Rangga mencabut penisnya, kulihat memang ukurannya termasuk pendek, kira kira tak sampai 10 cm, diameternya juga kecil, mungkin 1 cm lebih sedikit. Geli juga aku melihatnya, pantas saja aku tak terlalu merasakan rangsangan pada vaginaku tadi sewaktu aku disetubuhinya. Lagi lagi tanpa memberiku kesempatan untuk beristirahat, sudah ada lagi yang mengantri vaginaku.

“Nama saya Hendra Mbak Tita…” seperti mereka yang sebelumnya menyetubuhiku, Hendra memperkenalkan dirinya.

Kali ini aku sempat melihat penisnya, dan aku kembali harus menahan geli. Hendra ini tubuhnya kecil, penisnya juga kecil. Mungkin cuma sekitar 9 cm panjangnya, dan diameternya pun tak lebih besar dari punya Rangga. Kembali aku hanya pura pura bereaksi ketika penisnya tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku. Tapi kemudian aku hanya diam, kubiarkan Hendra mencari kepuasannya sendiri. Dan memang sebenarnya Hendra sedang menggenjotku dengan sangat bernafsu, tapi aku tak begitu terpengaruh.

Aku berpikir, enak saja mereka stirahat. Kalau satu-persatu seperti ini, memangnya mereka mau memperkosaku sampai berapa lama. Namun aku tidak kehabisan akal.

“Bud, sini dong…” aku memanggilnya dengan suara yang kumanja-manjakan.

Budi berdiri dan berjalan medekat ke arahku, diiringi dengan sorakan teman-temannya.

“Ada apa Mbak?” tanyanya dengan ragu.
“Aku mau isepin penis Budi. Boleh kan?” kataku sambil mencoba meraih penisnya.

Budi tertegun sejenak, tapi ia berlutut di sebelah kanan kepalaku, memberikan kesempatan padaku untuk mulai mengulum penisnya. Aku memperhatikan teman temannya yang lain, kulihat mereka memandang kami dengan tatapan iri.

“Mbak Tita, saya juga mau!”
“Saya juga dong!” Mereka semua seperti anak kecil yang sedang meminta permen saja.

Dengan suara yang lagi-lagi kumanja-manjakan, aku berkata “Iya, tapi antri satu-persatu yah…”

Lalu penis Budi segera kulahap, aku mulai melakukan kuluman dan sedotan, selain itu aku juga memberikan gigitan kecil pada penis itu, membuat Budi mengerang keenakan dan penisnya langsung ereksi sempurna. Aku melakukan oral seks ini dengan bersemangat, berharap Budi cepat ejakulasi, kemudian yang lainnya, jadi aku bisa memotong satu ronde dari rencana mereka. Kalau semua berejakulasi di vaginaku satu per satu, entah masih berapa lama lagi baru perkosaan ini selesai. Dan rupanya Hendra menjadi amat terangsang melihat adegan di depan matanya, dimana seorang gadis manis dengan kulit yang mulus terawat, kini sedang mengoral penis temannya yang kulitnya hitam dan kasar.

Pemandangan kontras ini memaksa Hendra segera berejakulasi, Hendra melenguh dan menyemprotkan spermanya ke dalam liang vaginaku. Entah sudah berapa banyak sperma yang mengisi rahimku. Aku tak bereaksi ketika orang berikutnya mengambil gilirannya menyetubuhiku.

“Mbak Tita, saya Reza…” kudengar yang namanya Reza ini berkata.

“Mmmm…” aku dengan malas menanggapinya, aku cuma ingin cepat mengeluarkan sperma si Budi ini.

Kurasakan Reza mengangkat salah satu kakiku hingga lurus ke atas, membuatku berbaring menyamping ke kanan. Yah, ini akan membuatku lebih mudah untuk mengoral penis-penis mereka. Dan kemudian Reza segera menerjangkan penisnya ke liang vaginaku yang sudah penuh sperma ini.

“Mmmhh…” kurasakan cukup nikmat juga ketika vaginaku menelan penis Reza ini, dan tepat saat itu juga, Budi yang sudah sejak tadi mengejang dan mengerang, menyemburkan spermanya ke dalam mulutku.
“Oooughh…” erang Budi keenakan.

Aku menelan sperma itu, menjilati dan menyeruput sisa sperma pada penis Budi. Ia mengerang-ngerang karena perbuatanku pada penisnya, dan begitu aku melepaskan kulumanku, ia terduduk lemas. Memang inilah tujuanku, dan sesuai rencanaku, aku segera memangggil salah satu dari mereka. Aku mengingat ingat, yang kedua tadi menyetubuhiku adalah Darso.

Maka aku memanggilnya dengan nada suara yang sama seperti aku memanggil Rudi tadi. Aku tidak perduli lagi bahwa aku akan terlihat sebagai wanita murahan di mata mereka, yang penting semua ini akan lebih cepat selesai.

“Darso…” begitu aku menyebut namanya, Darso sudah berdiri dengan penuh semangat.

Ia setengah berlari ke arahku. Saat ini aku merasa selangkanganku makin nikmat saja, aku sempat menoleh memperhatikan Reza ini. Badannya cukup berotot juga, wajahnya juga tidak terlalu jelek, namun kulitnya begitu hitam. Aku tersenyum padanya, dan membiarkannya memainkan vaginaku sepuas hatinya. Kini Darso sudah menyodorkan penisnya di dekat mulutku, bahkan hampir menempel ke bibirku. Aku segera membuka mulutku, dan aku memberikan servis pada Darso, sama seperti yang kuberikan pada Budi tadi.

Darso segera melenguh dan meracau tak karuan “Ooooh… Eenaaak…”

Sedangkan Reza terus memanjakan vaginaku dengan genjotannya yang kadang lembut, kadang menyentak, membuatku mulai menggeliat keenakan. Kubiarkan vagina dan mulutku melayani nafsu bejat mereka semua ini.

“Nggghhh… Mmmmhhh…” aku melenguh namun suaraku segera tersumbat penis Darso yang sedang kuoral.

Tubuhku mengejang orgasme bersamaan dengan ledakan sperma Reza pada liang vaginaku hingga aku agak kurang bisa berkonsentrasi mengoral penis Darso. Reza pun mengerang keenakan, dan mencabut penisnya dari liang vaginaku. Tubuhku masih bergetar merasakan kenikmatan ini, dan kurasakan vaginaku sudah diterjang oleh penis yang lain, dengan posisi kakiku yang sama seperti tadi.

“Nama saya Wahyu…” kata pemilik penis yang sudah tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku ini.
“Mmmhh… Mmmmhh…” aku mencoba melihatnya sambil melanjutkan mengoral penis Darso.

Wahyu menggantikan Reza memegang pergelangan kakiku yang terangkat ini, dan ia mulai memompa vaginaku. Tak sehebat Reza memang, tapi ia juga mampu membuatku kembali melayang dalam kenikmatan, walaupun sebenarnya dalam hati kecilku aku tak rela tubuhku dinikmati banyak orang seperti ini.

Wahyu ini memiliki rambut yang gondrong dan agak dekil, selain itu tubuhnya biasa saja. Dan kulitnya tentu saja hitam legam. Tiba tiba, semprotan sperma Darso di dalam rongga mulutku cukup mengagetkanku, aku hampir saja tersedak oleh cairan putih kental yang sudah mampir di tenggorokanku ini. Setelah kutelan semuanya, dan membersihkan penis Darso dengan lidahku, aku melepaskan penis Darso dari kuluman mulutku.

Ternyata Sul sudah mengantri di belakang Darso yang kini sudah terduduk lemas. Tanpa basa-basi Sul segera menyodorkan penisnya, dan aku pun tak berkata apa apa, langsung mengulum penisnya. Sul mendesah dan mengerang keenakan ketika aku mulai menyedot dan menggigit kecil penisnya. Aku terus mempermainkan penisnya dalam mulutku sambil merasakan penis Wahyu yang terus mengaduk liang vaginaku dengan gencar.

Tiba tiba kurasakan remasan lembut pada payudaraku, aku mencoba melihat siapa pelakunya, ternyata si Budi, yang menatapku lagi lagi dengan pandangan anehnya itu. Tapi aku memilih untuk berkonsentrasi mengoral penis Sul. Kubiarkan saja Budi melakukannya, meskipun ini sebenarnya merugikanku. Dengan bertambahnya jumlah rangsangan pada tubuhku, mungkin aku akan lebih mudah diantar ke orgasme oleh mereka, dan ini berarti staminaku akan makin cepat terkuras.

Makin lama Budi semakin gencar merangsangku. Payudara kiriku diremasnya lembut dengan tangan kirinya, sementara rambutku dibelai mesra dengan tangan kanannya, seolah aku ini kekasihnya saja. Ia bahkan menciumi telinga kiriku, leherku, dan yang paling membuatku kelabakan adalah ketika Budi mengulum puting payudaraku. Ini salah satu daerah yang paling sensitif untukku. Sul yang sedang kuoral, juga ikut membelai pipiku, mungkin karena ia juga ingin merasakan kemulusan kulit pipiku.

Tubuhku bergetar menerima rangsangan dari tiga orang sekaligus seperti ini. Aku mulai merintih, apalagi Hendra mulai merabai pahaku yang terangkat tegak ini. Aku mulai menderita, kenikmatan terus mendera tubuhku yang tak bisa banyak kugerakkan, hingga aku tak bisa menggeliat bebas melepaskan hasratku untuk menggeliat keenakan. Dengan mata yang serasa berkunang kunang aku hanya bisa pasrah melayani mereka bertiga ini.

Tak lama kemudian, tanpa bisa kutahan lagi, aku kembali merasakan otot vaginaku berkontraksi, dan tubuhku mulai mengejang ngejang.

“Nggghhh… Ngggghhh…” aku melenguh panjang.

Tubuhku tersentak sentak dalam gumulan mereka bertiga ini. Apa yang kutakutkan terjadi juga, dengan mudah mereka bertiga mengantarku menuju orgasme. Aku mulai kelelahan, dan mereka tentu saja tak tahu, atau kalaupun mereka tahu, tentu saja mereka tak akan perduli dengan keadaanku ini.

Wahyu semakin gencar menyodok vaginaku sambil mengerang, rupanya ia juga akan berejakulasi. Bersamaan dengan menyemburnya sperma Wahyu ke dalam liang vaginaku, aku juga harus menelan sperma Sul yang juga berejakulasi di dalam mulutku. Aku masih sedikit tersengal-sengal ketika aku menelan sperma ini, dan menyeruput sisa sperma yang tertinggal pada penis Sul sampai penis itu benar-benar bersih. Kulepaskan kulumanku dari penis Sul yang kulihat tersenyum penuh kepuasan.

Wahyu juga melepaskan penisnya dari liang vaginaku. Kini kakiku dibiarkan tergeletak di lantai, dan hal ini membantuku mengurangi rasa pegal pada kakiku ini, walaupun kedua betisku rasanya capai sekali setelah orgasme beberapa kali tadi. Selangkanganku rasanya sudah basah tak karuan oleh lelehan sperma yang tertelan vaginaku, yang bercampur dengan cairan cintaku. Kenikmatan ini sulit kulukiskan dengan kata kata, yang jelas sekarang ini aku merasa seolah olah berada di awang-awang.

Aku mengingat ingat, Budi, Darso, Sul, Rangga, Hendra, Reza, Wahyu. Berarti sudah tujuh dari sembilan anak SMP ini yang mendapat jatah menikmati vaginaku. Tinggal dua orang lagi, dan memang salah seorang dari mereka sudah membuka pahaku lebar lebar, dan menerjangkan penisnya ke liang vaginaku. Aku merasa nyaman dengan adukan penis yang berukuran tanggung ini, juga Budi yang masih menyusu pada payudara kiriku, membuatku kembali tenggelam dalam kenikmatan ini.

“Saya Anton…” kudengar suara pemilik penis tanggung ini.
“Mmm…” ketika aku membuka mata ternyata dia adalah pengendara motor yang menculik aku tadi.

Anton menggerakkan penisnya perlahan seolah ingin menikmati sempitnya liang vaginaku.

“Oh… A-anget banget memek Mbak Titaaaa…” bisik Anton.

Aku hanya diam, sebenarnya aku tak begitu terpengaruh oleh adukan penis Anton ini, aku lebih merasa keenakan pada puting payudaraku yang kiri, yang terus dikulum dan disedot oleh Budi. Seolah membalasku, Budi juga memberikan gigitan kecil pada putingku, membuatku mendesis merasakan kenikmatan ini. Tiba-tiba kepalaku sedikit terangkat, dan saat aku membuka mata, kepalaku sudah ada di pangkuan Rangga. Ia membimbing dan mengarahkan kepalaku hingga penisnya yang sudah menegang itu melesak masuk ke dalam mulutku. Aku pasrah saja dan mengoralnya, dan tiba tiba aku terbelalak ketika kurasakan puting payudara kananku juga dikulum oleh salah satu dari mereka.

Aku mengarahkan mataku ke pelakunya, ternyata Sul. Maka kini aku dikeroyok oleh empat orang sekaligus, dan mungkin karena ingin menambah sensasi yang kurasakan ini, tiba tiba kedua tanganku direntangkan dan kedua pergelangan tanganku dicengkeram oleh Budi dan Sul, hingga aku tak bisa bergerak lagi. Dan memang sensasi yang kurasakan semakin menghebat, aku mengerang dan merintih tak kuasa menerima siksaan kenikmatan yang menderaku habis habisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar