Saat itu aku harus mengambil sebuah mata kuliah umum yg belum kuambil, yaitu kewirausahaan. Kebetulan saat itu aku kebagian kelas dgn fakultas sipil, agak jauh dari gedung fakultasku, di sana mahasiswanya mayoritas lelaki pribumi, yg perempuannya hanya enam orang termasuk aku.
Tak heran aku sering menjadi pusat perhatian lelaki-lelaki di sana, beberapa bahkan sering curi-curi pandang mengintip badanku kalo aku sedang memakai pakaian yg menggoda, aku sih telah terbiasa dgn tatapan-tatapan liar seperti ini, terlebih lagi aku juga cenderung eksibisionis, jadi aku sih cuek-cuek aja.
Hari itu mata kuliah yg bersangkutan ada kuliah tambahan karena dosennya beberapa kali tak masuk akibat sibuk dgn kuliah S3-nya. Kuliah diadakan pada jam lima sore. Seperti biasa kalo kuliah tambahan pada jam-jam seperti ini saatnya lebih cepat, satu jam saja telah bubar. Namun bagaimanapun saat itu langit telah gelap hingga di kampus hampir tak ada lagi mahasiswa yg nongkrong.
Keluar dari kelas aku terlebih dulu ke toilet yg hanya berjarak empat ruangan dari kelas ini untuk buang air kecil sejenak, serem juga nih sendirian di WC kampus malam-malam begini, tetapi aku segera menepis segala bayangan menakutkan itu. Setelah cuci tangan aku buru-buru keluar menuju lift (di tingkat lima). Sewaktu menunggu lift aku terkejut karena ada yg menyapa dari belakang. Ternyata mereka adalah tiga orang mahasiswa yg juga sekelas dgnku tadi, yg tadi menyapaku aku tahu orangnya karena pernah duduk di sebelahku dan mengobrol sesaat kuliah, namanya Adi, badannya kurus tinggi dan berambut jabrik, mukanya jauh dari tampan dgn bibir tebal dan mata besar.
Sedangkan yg dua lagi aku tak ingat namanya, hanya tahu tampang, belakangan aku tahu yg rambutnya gondrong dikuncir itu namanya Jemblunk dan satunya lagi yg mukanya mirip Arab itu namanya Fariz, badannya lebih berisi dan kekar dibandingkan Adi dan Jemblunk yg lebih mirip pemakai narkoba.
“Kok baru turun sekarang Ci?” sapa Adi berbasa-basi.
“Abis dari WC, lu orang juga ngapain dulu?” jawabku.
“Biasalah, ngerokok dulu bentar,” jawabnya.
Lift terbuka dan kami masuk bersama, mereka berdiri mengelilingiku seperti mengepungku hingga jantungku jadi deg-degan merasakan mata mereka memperhatikan badanku yg terbungkus rok putih dari bahan katun yg menggantung di atas lutut serta kaos pink dgn aksen putih tanpa lengan. Meski demikian, terus terang gairahku terpicu juga dgn suasana di ruangan kecil dan dengan dikelilingi para lelaki seperti ini hingga rasa panas mulai menjalari badanku.
“Langsung pulang Ci?” tanya Jemblunk yg berdiri di sebelah kiriku.
“Hemm,” jawabku singkat dgn anggukan kepala.
“Jadi udah gak ada kegiatan apa-apa lagi dong setelah ini?” si Adi menimpali.
“Ya gitulah, paling nonton di rumah.” jawabku lagi.
“Wah kebetulan.. Kalo gitu lu ada saat sebentar buat kita dong!” sahut Jemblunk.
“Eh.. Buat apa?” tanyaku lagi.
Sebelum ada jawaban, aku telah dikagetkan oleh sepasang tangan yg memelukku dari belakang dan seperti telah diberi aba-aba, Fariz yg berdiri dekat tombol lift menekan sebuah tombol sehingga lift yg sedang menuju tingkat dua itu terhenti. Tas jinjingku sampai terlepas dari tanganku karena terkejut.
“Heh.. Ngapain lu orang?” ujarku panik dgn sedikit rontaan.
“Hehehe.. Ayolah Ci, have fun dikit kenapa? Stress kan, kuliah seharian gini!” ucap Adi yg mendekapku dgn nafas menderu.
“Iya Ci, di sipil kan gersang perempuan nih, jarang ada perempuan kaya lo gini, lu bantu hibur kita dong,” timpal Fariz.
Srr.. Sesosok tangan menggerayg masuk ke dalem rok miniku. Aku tersentak sewaktu tangan itu menjamah pangkal pahaku lalu mulai menggosok-gosoknya dari luar.
“Eengghh.. Kurang ajar!” ujarku lemah. Aku sendiri sebenarnya menginginkannya, namun aku tetap berpura-pura jual mahal untuk menaikkan derajatku di depan mereka.
Mereka menyeringai mesum menikmati ekpresi wajahku yg telah terangsang. Rambutku yg dikuncir memudahkan Adi menciumi leher, telinga dan tengkukku dgn ganas sehingga birahiku naik dgn cepat. Fariz yg tadinya hanya meremasi dadaku dari luar kini mulai menyingkap kaosku lalu cup breast houlder-ku yg kanan dia turunkan, maka menyembullah buah dada kananku yg nampak lebih mencuat karena masih disangga breast houlder. Diletakkannya telapak tangannya di sana dan meremasnya pelan, kemudian kepalanya mulai merunduk dan lidahnya kurasakan menyentuh pentilku.
Sembari menyusu, tangannya aktif mengelusi paha mulusku. Tanpa kusadari, celana dalemku kini telah merosot hingga ke lutut, bokong dan kemaluanku terbuka telah. Jari-jari Jemblunk telah memasuki kemaluanku dan menggelitik bagian dalemnya. Badanku menggelinjang dan mendesah saat jarinya menemukan klitorisku dan menggesek-gesekkan jarinya pada daging kecil itu.
Aku merasakan sensasi geli yg luar biasa sehingga pahaku merapat mengapit tangan Jemblunk. Rasa geli itu juga kurasakan pada telingaku yg sedang dijilati Adi, hembusan nafasnya membuat bulu kudukku merinding. Tangannya menjalar ke dadaku dan mengeluarkan buah dadaku yg satu lagi. Diremasinya buah dada itu dan pentilnya dipilin-pilin, kadang dipencet atau digesek-gesekkan dgn jarinya hingga menyebabkan benda itu semakin membengkak. Badanku serasa lemas tak berdaya, pasrah membiarkan mereka menjarah badanku.
Melihatku semakin pasrah, mereka semakin menjadi-jadi. Kini Fariz memagut bibirku, bibir tebal itu menyedot-nyedot bibirku yg mungil, lidahnya masuk ke mulutku dan menjilati rongga di dalemnya, kubalas dgn menggerakkan lidahku sehingga lidah kami saling jilat, saling hisap, sementara tangannya telah meremas bongkahan bokongku, kadang jari-jarinya menekan anusku. Tonjolan keras di balik celana Adi terasa menekan bokongku. Secara refleks aku menggerakkan tanganku ke belakang dan meraba-raba tonjolan yg masih terbungkus celana itu.
Buah dada kananku yg telah ditinggalkan Fariz jadi basah dan meninggalkan bekas gigitan kini beralih ke tangan Adi, dia kelihatan senang sekali memainkan pentilku yg sensitif, setiap kali dia pencet benda itu dgn agak keras badanku menggelinjang disertai desahan. Si Jemblunk malah telah membuka celananya dan mengeluarkan kemaluannya yg telah tegang. Masih sembari berciuman, kugerakkan mataku memperhatikan miliknya yg panjang dan berwarna gelap tetapi diameternya tak besar, ya sesuailah dgn badannya yg kerempeng itu.
Diraihnya tanganku yg sedang meraba selangkangan Adi ke kemaluannya, kugenggam benda itu dan kurasakan getarannya, satu genggamanku tak cukup menyelubungi benda itu, jadi ukurannya kira-kira dua genggaman tanganku.
“Ini aja Ci, burung gua kedinginan nih, tolong hangatin dong!” pintanya.
“Ahh.. Eemmhh!” desahku sembari mengambil udara begitu Fariz melepas cumbuannya.
“Gua juga mau dong, udah gak tahan nih!” ujar Fariz sembari membuka celananya.
Wow, sepertinya dia memang ada darah Arab, soalnya ukurannya bisa dibilang menakjubkan, panjang sih tak beda jauh dari Jemblunk tetapi yg ini lebih berurat dan lebar, dgn ujungnya yg disunat hingga menyerupai helm tentara. Jantungku jadi tambah berdegup membaygkan akan ditusuk olehnya, berani taruhan punya si Adi juga pasti kalah darinya.
Adi melepaskan dekapannya padaku untuk membuka celana, saat itu Fariz menekan bahuku dan memintaku berlutut. Aku pun berlutut karena kakiku memang telah lemas, kedua kemaluan tersebut bagaikan pistol yg ditodongkan padaku, tak.. bukan dua, sekarang malah tiga, karena Adi juga telah mengeluarkan miliknya. Benar kan, milik Fariz memang paling besar di antara ketiganya, disusul Adi yg lebih berisi daripada Jemblunk. Mereka bertiga berdiri mengelilingiku dgn senjata yg mengarah ke wajahku.
“Ayo Ci, jilat, siapa dulu yg mau lu servis.”
“Yg gua aja dulu Ci, dijamin gue banget!”
“Ini aja dulu Ci, gua punya lebih gede, pasti puas deh!”
Demikian mereka saling menawarkan kemaluannya untuk mendapat servis dariku seperti sedang kampanye saja, mereka menepuk-nepuk miliknya pada wajah, hidung, dan bibirku sampai aku kewalahan menentukan pilihan.
“Aduh.. Iya-iya sabar dong, semua pasti kebagian.. Kalo gini terus gua juga bingung dong!” kataku sewot sembari menepis senjata mereka dari mukaku.
“Wah.. Marah nih, ya udah kita biarin Citra yg milih aja, demokratis kan?” kata Jemblunk.
Setelah kutimbang-timbang, tangan kiriku meraih kemaluan Jemblunk dan yg kanan meraih milik Fariz lalu memasukkannya pelan-pelan ke mulut.
“Weh.. Sialan lu, gua hanya kebagian tangannya aja!” gerutu Jemblunk pada Fariz yg hanya ditanggapinya dgn nyengir tanda kemenangan.
“Wah gua kok gak diservis Ci, gimana sih!” Adi protes karena merasa diabaikan olehku.
Sebenarnya bukan mengabaikan, tetapi aku harus memakai tangan kananku untuk menuntun kemaluan Fariz ke mulutku, setelah itu barulah kugerakkan tanganku meraih kemaluan Adi untuk menenangkannya. Kini tiga kemaluan kukocok sekaligus, dua dgn tangan, satu dgn mulut.
Lima belas menit lewat telah, aku ganti mengoral Adi dan Fariz kini menerima tanganku. Tak lama kemudian, Jemblunk yg ingin mendapat kenikmatan lebih dalem melepaskan kocokanku dan pindah berlutut di belakangku. Kaitan breast houlder-ku dibukanya sehingga breast houlder tanpa tali pundak itu terlepas, begitu juga celana dalem hitamku yg masih tersangkut di kaki ditariknya lepas. Lima menit kemudian tangannya menggeraygi buah dada dan kemaluanku sembari menjilati leherku dgn lidahnya yg panas dan kasar. Bokongku dia angkat sedikit sampai agak menungging.
Kemudian aku menggeliat sewaktu kurasakan hangat pada liang kemaluanku. Kemaluan Jemblunk telah menyentuh kemaluanku yg basah, dia tak memasukkan semuanya, hanya sebagian dari kepalanya saja yg digeseknya pada bibir kemaluanku sehingga menimbulkan sensasi geli saat kepalanya menyentuh klitorisku.
“Uhh.. Nakal yah lu!” kataku sembari menengok ke belakang.
“Aahh..!” jeritku kecil karena selesai berkata demikian Jemblunk mendorong pinggulnya ke depan sampai kemaluan itu amblas dalem kemaluanku.
Dgn tangan mencengkeram buah dadaku, dia mulai menggenjot badanku, kemaluannya bergesekan dgn dinding kemaluanku yg bergerinjal-gerinjal. Aku tak bisa tak mengerang setiap kali dia menyodokku.
“Hei Ci, yg gua jangan ditinggalin nih,” sahut Adi seraya menjejalkan kemaluannya ke mulutku sekaligus meredam eranganku.
Aku semakin bersemangat mengoral kemaluan Adi sembari menikmati sodokan-sodokan Jemblunk, kemaluan itu kuhisap kuat, sesekali lidahku menjilati ‘helm’nya. Jurusku ini membuat Adi blingsatan tak karuan sampai dia menekan-nekan kepalaku ke selangkangannya. Kocokanku terhadap Fariz juga semakin dahsyat hingga desahan ketiga lelaki ini memenuhi ruangan lift.
Teknik oralku dgn cepat mengirim Adi ke puncak, kemaluannya seperti membengkak dan berdenyut-denyut, dia mengerang dan meremas rambutku..
“Oohh.. Anjing.. Ngecret nih gua!!”
Muncratlah cairan kental itu di mulutku yg langsung kujilati dgn rakusnya. Keluarnya banyak sekali sehingga aku harus buru-buru menelannya agar tak tumpah. Setelah lepas dari mulutku pun aku masih menjilati sisa sperma pada batangnya. Fariz memintaku agar menurunkan frekuensi kocokanku.
“Gak usah buru-buru..” demikian katanya.
“Cepetan Blunk, kita juga mau ngerasain kemaluannya, kebelet nih!” kata Fariz pada Jemblunk.
“Sabar jek.. Uuhh.. Nanggung dikit lagi.. Eemmhh!” jawab Jemblunk dgn terengah-engah.
Genjotan Jemblunk semakin kencang, nafasnya pun semakin memburu menandakan bahwa dia akan orgasme. Kami mengatur tempo genjotan agar bisa keluar bersama.
“Uhh.. Uhh.. Udah mau Ci, boleh di dalem gak?” tanyanya.
“Jangan.. gue lagi subur.. Ah.. Aahh!!” desahku bersamaan dgn klimaks yg menerpa.
“Hei, jangan sembarangan buang peju, ntar gua mana bisa jilatin kemaluannya!” tegur Adi.
Jemblunk menyusul tak sampai semenit kemudian dgn meremas kencang buah dadaku hingga membuatku merintih, kemudian dia mencabut kemaluannya dan menumpahkan isinya ke punggungku.
“Ok, next please,” Jemblunk mempersilakan giliran berikut.
Adi langsung menyambut badanku dan memapahku berdiri. Disandarkannya punggungku pada dinding lift lalu dia mencium bibirku dgn lembut sembari tangannya menelusuri lekuk-lekuk badanku, kami ber-french kiss dgn panasnya. Serangan Adi mulai turun ke buah dadaku, tetapi hanya dia kulum sebentar, lalu dia turun lagi hingga berjongkok di depan kemaluanku. Gesper dan resleting rokku dia lucuti hingga rok itu merosot jatuh. Dia menatap dan mengendusi kemaluanku yg tertutup rambut lebat itu, tangan kanannya mulai mengelusi kemaluanku sembari mengangkat paha kiriku ke bahunya. Jari-jarinya mengorek liang kemaluanku hingga mengenai klitoris dan G-spotku.
“Sshh.. Di.. Oohh.. Aahh!!” desisku sembari meremas rambutnya sewaktu lidahnya mulai menyentuh bibir kemaluanku.
Aku mengigit-gigit bibir menikmati jilatan Adi pada kemaluanku, lidahnya bergerak-gerak seperti ular di dalem kemaluanku, daging kecil sensitifku juga tak luput dari sapuan lidah itu, kadang diselingi dgn hisapan. Hal ini membuat badanku menggeliat-geliat, mataku terpejam menghayati permainan ini. Tiba-tiba kurasakan sebuah gigitan pelan pada pentil kiriku, mataku membuka dan menemukan kepala Jemblunk telah menempel di sana sedang mengenyot buah dadaku. Fariz berdiri di sebelah kananku sembari meremas buah dadaku yg satunya.
“Ci, buah dada lu gede banget sih, ukuran BH-nya berapa nih?” tanyanya.
“Eenngghh.. Gua 34B.. Mmhh!” jawabku sembari mendesah.
“Udah ada pacar lo Ci?” tanyanya lagi.
Aku hanya menggeleng dgn badan makin menggeliat karena saat itu lidah Adi dgn liar menyentil-nyentil klitorisku. Sensasi ini ditambah lagi dgn Fariz yg menyapukan lidahnya yg tebal ke leher jenjangku dan mengelusi bokongku. Sebelum sempat mencapai klimaks, Adi berhenti menjilat kemaluanku. Dia mulai berdiri dan menyuruh kedua temannya menyingkir dulu.
“Minggir dulu jek.. Gua mo nyoblos nih! Walah.. Nih buah dada jadi bau jigong lu gini Blunk!” omelnya pada Jemblunk yg hanya ditanggapi dgn seringainya yg mirip kuda nyengir.
Paha kiriku diangkat hingga pinggang, lalu dia menempelkan kepala kemaluannya pada bibir kemaluanku dan mendorongnya masuk perlahan-lahan.
“Ooh.. Di.. Aahh.. Ahh!” desahku dgn memeluk erat badannya saat dia melakukan penetrasi.
“Aakkhh.. Yahud banget kemaluan lu Ci.. Seret-seret basah!”
Kemudian Adi mulai memompa badanku, rasanya sungguh sulit dilukiskan. Kemaluan kokoh itu menyodok-nyodokku dgn brutal sampai badanku terlonjak-lonjak, keringat yg bercucuran di badanku membasahi dinding lift di belakangku. Eranganku kadang teredam oleh lumatan bibirnya terhadapku. Senjatanya keluar-masuk berkali-kali hingga membuat mataku merem-melek merasakan sodokan yg nikmat itu. Aku pun ikut maju mundur merespons serangannya. Saat itu kedua temannya hanya menonton sembari memegangi senjata masing-masing, mereka juga menyoraki Adi yg sedang menggenjotku seolah memberi semangat.
Sementara dia berpacu di antara kedua pahaku, aku mulai merasakan klimaks yg akan kembali menerpa. Badanku bergetar hebat, pelukanku terhadapnya juga semakin erat. Akhirnya keluarlah desahan panjang dari mulutku bersamaan dgn melelehnya cairan kewanitaanku lebih banyak daripada sebelumnya. Namun dia masih bersemangat menggenjotku, bahkan bertambah kencang dan bertenaga, nafasnya yg menderu-deru menerpa wajahku.
“Uuhh.. Uuh.. Ci.. Yeeahh.. Hampir!” geramnya di dekat wajahku.
Badannya berkelojotan diiringi desahan panjang, kemudian ditariknya kemaluannya lepas dari kemaluanku dan menyemprotlah isinya di perutku. Dia pun lalu ambruk ke depanku sembari memagut bibirku mesra. Karena Adi melepaskan pegangannya terhadapku, pelan-pelan badanku merosot hingga terduduk bagai tak bertulang, begitu pun dgnnya yg bersandar di lift dgn nafas ngos-ngosan. Aku meminta Jemblunk mengambilkan tissue dari tasku, aku lalu menyeka keringat di keningku juga ceceran sperma pada perutku sembari menjilat jari-jariku untuk mendapatkan ceceran sperma itu. Hingga kini pakaian yg masih tersisa di badanku hanya sepatu dan kaos yg telah tergulung ke atas.
Tenggang saat ke babak berikutnya kurang dari lima menit, Fariz setelah meminta ijin dahulu, memegangi kedua pergelangan kakiku dan membentangkannya. Ditatapnya sebentar lubang merah merekah di tengah bulu-bulu hitam itu, kedua temannya juga ikut memandangi daerah itu.
“Ayo dong.. Pada liatin apa sih, malu ah!” kataku dgn memalingkan muka karena merasa risi dipelototi bagian ituku, namun sesungguhnya aku malah menikmati menjadi objek seks mereka.
“Hehehe.. Malu apa mau nih!” ujar Jemblunk yg berjongkok di sebelahku sembari mencubit pentilku.
“Lu udah gak virgin sejak kapan Ci? Kok kemaluannya masih OK?” tanya Fariz sembari menatap liang itu lebih dekat.
“Enam belas, saat SMA dulu,” jawabku.
Kami ngobrol-ngobrol sejenak diselingi senda gurau hingga akhirnya aku meminta lagi karena gairahku telah kembali, ini dipercepat oleh tangan-tangan mereka yg selalu merangsang titik-titik sensitifku. Fariz menarikku sedikit ke depan mendekatkan kemaluannya pada kemaluanku lalu mengarahkan benda itu pada sasarannya. Uuh.. Kemaluanku benar-benar terasa sesak dan penuh dijejali oleh kemaluannya yg perkasa itu. Cairan kemaluanku melicinkan jalan masuk baginya.
“Aa.. aadduhh, pelan-pelan dong!” aku mendesah lirih sesaat Fariz mendorong agak kasar. Sembari menggeram-geram, dia memasukkan kemaluannya sedikit demi sedikit hingga terbenam seluruhnya dalem kemaluanku.
“Eengghh.. Ketat abis, kemaluan Cina emang sipp!” ceracaunya.
Dia menggenjot badanku dgn liar, semakin tinggi tempo permainannya, semakin aku dibuatnya kesetanan. Sementara Jemblunk sedang asyik bertukar ludah dgnku, lidahku saling jilat dgn lidahnya yg ditindik, tanganku menggenggam kemaluannya dan mengocoknya. Sebuah tangan meraih buah dadaku dan meremasnya lembut, ternyata si Adi yg berlutut di sebelahku.
“Bersihin dong Ci, masih ada sisa tadi!” pintanya dgn menyodorkan kemaluannya ke mulutku saat mulut Jemblunk berpindah ke leherku.
Serta merta kuraih kemaluan itu, hhmm, masih lengket-lengket bekas persenggamaan barusan, kupakai lidahku menyapu batangnya, setelah beberapa jilatan baru kumasukkan ke mulut, aku dapat melihat ekspresi kenikmatan pada wajahnya akibat teknik oralku.
Tak lama kemudian, Jemblunk berkelojotan dan bergumam tak jelas, sepertinya dia akan klimaks. Melihat reaksinya kupercepat kocokanku hingga akhirnya cret.. cret.. Spermanya berhamburan mendarat di sekitar dada dan perutku, tanganku juga jadi belepotan cairan seperti susu kental itu. Saat itu aku masih menikmati sodokan Fariz sembari mengulum kemaluan Adi.
Kemudian Adi mengajak berganti posisi, aku dimintanya berposisi doggy, Fariz dari belakang kembali menusuk kemaluanku dan dari depanku Adi menjejalkan kemaluannya ke mulutku. Kulumanku membuat Adi berkelojotan sembari meremas-remas rambutku sampai ikat rambutku terlepas dan terurailah rambutku yg sebahu itu. Kemaluan itu bergerak keluar-masuk semakin cepat karena kemaluanku juga telah basah sekali.
Tak sampai sepuluh menit kemudian muncratlah sperma Adi memenuhi mulutku, karena saat itu genjotan Fariz bertambah ganas, hisapanku sedikit buyar sehingga cairan itu tumpah sebagian meleleh di pinggir bibirku. Setelah Adi melepas kemaluannya, aku bisa lebih fokus melayani Fariz, aku ikut menggoyg pinggulku sehingga sodokannya lebih dalem.
Bunyi ‘plok-plok-plok’ terdengar dari hentakan selangkangan Fariz dgn bokongku. Mulutku terus mengeluarkan desahan-desahan nikmat, sampai beberapa menit kemudian badanku mengejang hebat yg menandakan orgasmeku. Kepalaku menengadah dan mataku membeliak-beliak, sungguh fantastis kenikmatan yg diberikan olehnya. Kontraksi otot-otot kemaluanku sesaat orgasme membuatnya merasa nikmat juga karena otot-otot itu semakin menghimpit kemaluannya, hal ini menyebabkan goygannya semakin liar dan mempercepat orgasmenya. Dia mendengus-dengus berkelojotan lalu tangannya menarik rambutku sembari mencabut kemaluannya.
“Aduh-duh, sakit.. Mau ngapain sih?” rintihku.
Dia tarik rambutku hingga aku berlutut dan disuruhnya aku membuka mulut. Di depan wajahku dia kocok kemaluannya yg langsung menyemburkan lahar putih. Semprotan itu membasahi wajahku sekaligus memenuhi mulutku.
“Gila, banyak amat sih, sampai basah gini gua!” kataku sembari menjilati kemaluannya melakukan cleaning service.
Setelah menuntaskan hasrat, Fariz melepaskanku dan mundur terhuyung-huyung sampai bersandar di pintu lift dimana badannya merosot turun hingga terduduk lemas. Dgn sisa-sisa tenaga aku menyeret badanku ke tembok lift agar bisa duduk bersandar. Suasana di dalem lift jadi panas dan pengap setelah terjadi pergulatan seru barusan. Aku mengatur kembali nafasku yg putus-putus sembari menjilati sperma yg masih belepotan di sekitar mulut, aku bisa merasakan lendir hangat yg masih mengalir di selangkanganku.
Adi telah memakai kembali celananya tetapi masih terduduk lemas, dia mengeluarkan sebotol akua dari tas lusuhnya, Jemblunk sedang berjongkok sembari menghisap rokok, dia belum memakai celananya sehingga batang kemaluannya yg mulai layu itu dapat terlihat olehku, Fariz masih ngos-ngosan dan meminta Adi membagi minumannya. Setelah minum beberapa teguk, Fariz menawarkan botol itu padaku yg juga langsung kuraih dan kuminum. Kuteteskan beberapa tetes air pada tissue untuk melap wajahku yg belepotan.
Kami ngobrol-ngobrol ringan dan bertukar nomor HP sembari memulihkan tenaga. Aku mulai memunguti pakaianku yg tercecer. Setelah berpakaian lengkap dan mengucir kembali rambutku, kami bersiap-siap pulang. Adi menekan tombol lift dan lift kembali meluncur ke bawah. Lantai dasar telah sepi dan gelap, jam telah hampir menunjukkan pukul tujuh. Lega rasanya bisa menghirup udara segar lagi setelah keluar gedung ini, kami pun berpisah di depan gedung sipil, mereka keluar lewat gerbang samping dan aku ke tempat parkir.
Dalem perjalanan pulang, aku tersenyum-senyum sendiri sembari mendengar alunan musik dari CD-player di mobilku, masih terngiang-ngiang di kepalaku kegilaan yg baru saja terjadi di lift kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar