Aisiah, demikianlah nama gadis itu, berparas sangat cantik dibalik kerudung putih yang selalu dikenakannya setiap kali keluar rumah ataupun berpergian. Tak heran semua lelaki menjulukinya si bunga desa, sebab postur tubuhnya ramping namun padat berisi diusianya yang masih sangat
muda belia ini, delapan belas tahun. Wajah manisnya begitu sedap dipandang mata dari sisi manapun ia dilihat dan memiliki bola mata yang akan membuat seluruh pria terpana serta luluh oleh pesona kewanitaannya. Apalagi ia berhidung sangat mancung dan bangir sekali, bibirnya mungil kemerahan dan selalu tersipu malu tatkala berpapasan mata dengan lelaki.
Namun tidak untuk saat ini, sebab mata indah yang selalu mengukir bentuk wajahnya dengan alis menawan yang hitam lebat kini tampak mendung saat harus merelakan kepergian kekasihnya, Dimas. Terpaku dalam keheningan dan bibir kelu kedua manusia ini hanyut dalam pikiran masing-masing di hamparan lepas pantai pada pesisir desa mereka yang menyimpan banyak kenangan masa kecil mereka.
"Berjanjilah untuk selalu menungguku, Aisiah.." suara Dimaspun akhirnya keluar di saat-saat terakhir kebersamaan mereka. Meskipun terdengar berat dan sedikit parau, ada nada takut kehilangan disana. Dipegangnya kedua jari jemari gadis itu di mana masih melekat cincin emas di jari manis Aisiah.
"Mas.." Aisiah tercengang, ada rasa haru dan gembira disana tak terkatakan sudah. Janji dimas memang telah dibuktikan dengan ikatan pertunangan mereka seminggu yang lalu dan cincin itu akan selalu dikenakannya dalam penantian panjang.
"Aku pergi merantau takkan lama, percayalah sayang.. setelah aku datang kembali nanti, aku akan langsung melamarmu.. akan kubawa uang yang banyak untuk mengawini dan membahagiakanmu Aisiah.."
Dipeluknya gadis itu dengan dekapan penuh akan kerinduan yang dalam. Aisiah menengadahkan wajahnya dalam pelukan Dimas, memandang wajah kekasih hatinya penuh kegalauan. Ahh.. mata gadis itu semakin memberatkan langkah dan niatnya.
"Berhati-hatilah di perjalanan mas, aku akan selalu menanti kehadiranmu kembali mas.." tak kuasa Aisiah membendung bola matanya dari luapan air kesedihannya yang tertumpah membasahi kedua pipi di balik kerudung putihnya itu.
Dimas diusianya yang ke dua puluh tiga ini memanglah sosok lelaki dambaannya sejak kecil, berwajah ganteng dan menjerat seluruh hatinya sudah. Linangan air mata itu segera dihapus oleh jemari sang kekasih.
"Tentu dindaku sayang.." sahut dimas dan lima menit mereka berangkulan sebelum kapal layar yang akan ditumpangi kekasihnya segera berangkat.
Dalam belaian angin laut yang mengibaskan kerudung putih dan pakaiannya gadis itu melambaikan tangannya ke arah perahu di mana kekasihnya berada, menjauh dan semakin menjauh dari tempatnya berdiri. Tanpa disadari oleh gadis itu sepasang mata tampak mengawasi tubuhnya dari jauh sambil tersenyum menyeringai penuh maksud yang hanya diketahui oleh yang empunya si sosok ini.
Aisiah sepeninggal Dimas tinggal bersama kakek Dimas. Aisiah yang sebatang kara ini tak tau di mana ayah dan ibu serta kakek neneknya berada. Ia hanya anak pungut yang diangkat oleh kakek Dimas sejak kecil, orangtua Dimas juga telah tiada pula karena sakit oleh wabah pes yang pernah melanda desa itu sebelumnya.
Namun sebulan kemudian kakek Dimas menderita sakit keras pula dan meninggal, hal ini membuat Aisiah sangat bersedih hati. Semua kejadian itu tak luput dari pengawasan sesosok lelaki yang selalu mengintai gerak-gerik gadis itu.
Sosok lelaki itu bernama Thoyib, seorang lelaki yang dulu pernah ditolak cintanya oleh Aisiah dua tahun yang lalu. Karena Aisiah sedari kecil telah bersama-sama dengan dimas, ia lebih memilih Dimas yang keluarganya dalam hal ini kakeknya telah berjasa merawatnya sejak kecil dibanding Thoyib yang segala perawakan dan wajahnya teramat jauh penampilannya dari Dimas.
Thoyib berusia tiga puluh lima tahun, bertubuh pendek serta cenderung kontet, rambutnya keriting dan wajahnya agak buruk rupa. Selepas ditolak cintanya oleh Aisiah, ia bekerja kepada penguasa setempat. Julukkannya adalah datuk, namanya Barkonang. Ia memang seorang yang sangat berpengaruh saat itu, usianya kurang lebih lima puluh tahun, bisa dibilang dialah si penguasa daerah termasuk desa tempat dimana Aisiah tinggal. Tubuhnya gemuk tapi kekar dan juga tinggi besar, kepalanya sedikit botak dengan lusinan rambut putih yang menghiasi batoknya. Dan ia juga telah mendengar kabar pula tentang kecantikan Aisiah yang menyandang gelar kembang didesanya itu.
Berkat kegigihannya menjadi anak buah datuk, Thoyib mendapat kepercayaan menjadi tangan kanannya dari menjadi centeng untuk melindungi datuk sampai urusan memata-matai wilayah jajaran kekuasaan si datuk. Sepulangnya dari mengintai tampak Thoyib berbisik-bisik serta memohon sesuatu kepada datuk penguasa tersebut yang dibalas dengan anggukan tanda setuju.
Seminggu kemudian, ketika malam semakin larut, Aisiah tampak berjalan pulang selepas jamuan makan malam salah seorang teman di desanya. Busana yang dikenakannya malam itu sangat sopan sekali dan tertutup lengkap dengan kerudung putihnya. Lengan bajunya tertutup sampai pergelangan tangannya, sedangkan bagian bawahnya menutupi sampai tumitnya yang mengenakan selop.
Agaknya ia kemalaman pulang sendirian. Tanpa disadarinya dua sosok tubuh mengikutinya dari belakang. Rupanya kedua orang itu adalah suruhan datuk Barkonang. Tujuannya cuma satu, yaitu menculik gadis itu.
Aisiah terlambat menyadari bahaya tersebu. Tubuhnya telah tercengkeram erat, belum sempat ia berteriak, mulutnya telah terbungkam oleh bekapan kain gombal. Kedua orang tadi mengikat erat kedua belah tangan dan kakinya, kemudian tubuhnya dimasukkan dalam karung untuk kemudian dibopong berdua dan hilang dalam keheningan dan gelapnya malam.
Samar-samar terlihatlah wajah seseorang yang tengah menyeringai menatapi dirinya. Aisiah mendapati dirinya terlentang dalam hamparan sprei berwarna putih bersih dalam kamar asing yang besar dan masih dalam keadaan terikat erat kedua tangannya yang menelikung ke belakang punggung serta mulut mungilnya yang tersumpal gombal namun masih berbusana lengkap. Orang itu
kemudian menarik lepas gombal di mulutnya dengan kasar.
"Thoyib.. Oh tidak! Apa-apaan ini?! Lepaskan aku!!" jeritnya tertahan.
Setelah pandangannya menjadi jelas, ditatapnya seluruh ruangan. Ada tiga orang lagi yang mendampingi Thoyib, orang yang pernah ia tolak cintanya dulu. Salah satunya ia kenal sekali, yakni si datuk penguasa dengan dua orang yang menculiknya tadi.
"Hehehe.. Aisiah..rupanya kau masih mengenali aku.. Tahukah engkau, mengapa engkau sekarang kubawa kesini?" Thoyib terkekeh-kekeh, sementara yang lainnya tersenyum-senyum .
"Apa maksudmu Thoyib? Salah apa aku kepadamu? Dan untuk apa kau bawa aku ke hadapan datuk?" gadis itu mengernyitkan alisnya tak mengerti di sela-sela ikatan yang mengunci pergelangan tangan dan kakinya.
"Aisiah..apa kau tidak tahu kalau kakekmu selama ini telah berhutang uang kepada kami dalam jumlah yang sangat besar.." suara berat yang berwibawa itu akhirnya terlontar pula dari datuk Barkonang.
"Hutang? Ampun datuk.. mendiang kakek tak pernah cerita padaku tentang hal tersebut," Aisiah semakin putus asa mendengar hal demikian.
"Betul sekali! Kakekmu telah lama berhutang kepadaku.. dari sejak memulai usaha sawahnya, sampai ia merestui pertunangan kalian dan membiayai bekal perjalanan kekasihmu merantau.. dan menurut catatan kami saat ini.." datuk menyuruh Thoyib memperlihatkan surat utang di mana memang terdapat tanda tangan kakek Dimas tersebut kepada Aisiah.
Gadis itu benar-benar kaget setengah mati melihat kenyataan tersebut dan langsung lemas tak bertenaga.
"Mengapa banyak sekali datuk?" gumam Aisiah lirih tanpa semangat lagi.
"Hehehe.. tentu saja banyak Aisiah.. bukankah bunga yang datuk tawarkan memang sangat besar.. toh kakekmu setuju dengan perjanjian tersebut. Sayang saja tua bangka itu telah mati lebih dulu sebelum kami menagih hutangnya itu.." jawab si penguasa.
"Karena cucunya masih hidup, maka cucunya kini sudah harus menanggung semua hutangnya si kakek.." sela Thoyib menambahkan.
"Kurang ajar sekali engkau Thoyib! Tampaknya semua ini adalah siasat kotormu!" ujar Aisiah gemas.
"Hehehe.. Aisiah.. aku sudah menjadi anak buah datuk.. segala permasalahanmu telah sepenuhnya kuserahkan keputusan kepadanya," Thoyib melirik ke si datuk memohon persetujuan.
"Dengan apa engkau akan membayarnya Aisiah?" tanya datuk penguasa itu dengan suara tenangnya yang khas namun sangat menggetarkan gadis itu.
"Apakah engkau sanggup membayarnya Aisiah?" desak Thoyib dengan senyum jelek kemenangan, sebab gadis itu tak pelak lagi tak akan mungkin sanggup mengganti semua hutang kakeknya yang telah mati.
"Dan.. hal yang paling membuat aku tak percaya, bahwa kepergian kekasihmu itu adalah untuk merencanakan pemberontakan terhadap kekuasaanku! Ia pergi untuk mencari orang-orang di seberang lautan yang tidak senang akan diriku dan berniat melawan dan membunuhku agar ia tak perlu lagi membayar hutang kakeknya yang sudah sangat mencekik leher itu!" suara datuk terasa bagai guntur yang menggelegar di siang hari di telinga gadis itu.
"A..pa?! Tak mungkin! Itu fitnah! Dimas tak akan berbuat seperti itu datuk, percayalah.. jangan mendengar mulut culas si Thoyib ini.." belum lagi Aisiah berkata melayanglah tamparan telak mengenai pipi kirinya, plak!
Si penguasalah yang melakukan hal itu kepadanya.
"Berani-beraninya engkau menyangkal hal itu dihadapanku!" maki si datuk Barkonang.
"Ampun..ampun datuk!" mohon Aisiah meratap. Pipi kirinya yang putih bersih telah memerah terkena tamparan telapak tangan datuk.
"Saat engkau pergi tadi, Rojali dan Aaep telah mengacak-acak isi rumahmu Aisiah dan menemukan surat tulisan tangan nama-nama orang yang akan dikumpulkan kekasihmu dirantauan!" Thoyib menunjukkan bukti surat tersebut pula pada Aisiah. Tak ada alasan untuk dapat mengelak lagi dari kenyataan, bahwa itu adalah memang tulisan tangan Dimas, kekasih dan tunangannya.
"Jangan menyangkal lagi! Kekasihmu telah berada di tangan kami, Aisiah!" datuk itu menyeret tubuh Aisiah ke ruangan kamar yang lain di mana kekasih gadis itu tergeletak pingsan dengan tangan dan kaki terikat erat serta mulut tersumpal pula.
"Dimas..!!" jerit Aisiah tertahan, bibirnya terasa kering sudah bagai dibakar, ia berharap semua ini hanyalah mimpi, tetapi itu memanglah sosoknya si dimas.
"Hukuman terhadap kekasihmu yang merencanakan pemberontakan adalah maut! Namun Thoyib telah berulang kali memohon kepadaku agar tunanganmu itu dapat diselamatkan dari hukumanku! Asalkan engkau memberi kami pilihan! Dimas hanya akan kami kurung dan terbebaskan dari hukuman mati dan semua hutang kakekmu terlunasi jika engkau sudi menebusnya dengan tubuhmu.. hanya malam ini sampai matahari pagi mulai terbit esok hari," lanjut penguasa lagi terang-terangan.
Aisiah terjebak dalam kesulitan yang teramat pahit. Tubuh indahnya menggigil bergetar. Semua pasang mata di kamar besar itu tertuju kepadanya termasuk dua centeng yang menculiknya tadi, Rojali dan Asep. Lama bunga desa ini termenung dalam kekalutan pikiran atas keselamatan kekasihnya yang tercinta. Lamat-lamat akhirnya gadis itu mengangguk perlahan sebagai jawaban atas persetujuannya, meskipun dengan sangat berat hati.
Pekatnya malam tidaklah sepekat hati Aisiah, si bunga desa yang masih muda belia dan sangat cantik parasnya ini. Kini dalam keheningan sang malam yang menyelimuti kawasan desa kekuasaan datuk, di samping ranjang besar gadis itu berdiri diapit oleh Thoyib di belakang serta datuk di depannya. Kerudung putihnya direnggut oleh tangan Thoyib dari belakang dan tergerailah rambut hitam lebat gadis itu yang seketika jatuh di pundaknya. Rambutnya memanjang melewati pundak belakangnya, sungguh indah dipandang mata.
Dari depan datuk membuka busana yang dikenakan Aisiah hingga terlucuti hingga ke mata kakinya. Semua terpana takjub melihat tubuh gadis itu yang kini tinggal mengenakan kutang dan sempaknya. Betapa tidak! Tubuh gadis itu ramping namun sangat padat berisi, pusar dan perutnya terlihat rata serta berkulit putih tanpa cacat dan cela sama sekali.
Aisiah tertunduk malu diselingi isak tangisnya yang tertahan. Tak biasa ia diperlakukan seperti ini sebelumnya. Selama hidupnya baru kali ini tubuhnya dilihat lelaki. Tak hanya satu.. tapi empat orang!
"Bagus Thoyib! Sekarang buka kutangnya juga!" perintah datuk yang langsung dilaksanakan oleh orang kepercayaannya itu.
Kutang itu telah jatuh ke lantai kamar. Semua melihat bagian dada gadis itu yang telah terbuka, tampaklah kedua belah payudara nan begitu indah bentuk dan lekukannya disertai dengan hiasan putingnya yang berwarna merah muda.
Thoyib, Rojali, dan Asep tak berani mengeluarkan suara sedikitpun karena akan mengganggu kesenangan datuk penguasa itu. Mereka hanya menelan ludah perlahan dengan masing-masing jakunnya turun naik menatapi kemolekkan buah dada gadis belia tersebut. Aisiah ingin menyilangkan tangannya di depan dada untuk menutupi payudaranya, tetapi tangan Thoyib mencegah niatnya itu. Gadis belia itu semakin tertunduk berurai air mata lagi.
Kini tubuh setengah telanjang gadis itu direbahkan di atas pelataran ranjang bersprei putih itu dan tetap diapit depan belakang oleh datuk dan si Thoyib. Diam-diam Thoyib celegukan memandangi payudara gadis ini yang dulu menolak cintanya mentah-mentah, namun kini tak berdaya dalam kekuasaan dan cengkeraman penguasa dan dirinya. Panggul gadis desa yang mulus itu ditaruh di dada berbulu Thoyib yang kontet.
Bak sudah dicucuk hidung, Aisiah hanya menuruti saja tubuhnya digerakkan dan dibentuk sedemikian rupa hingga kini belakang kepalanya terhimpit di kasur dan seluruh tubuhnya yang selangkangannya masih tertutup sempak hanya bertopang pada kedua pundaknya kiri dan kanan. Sementara kedua belah kakinya yang masih mengenakan selop itu terjurai sejajar ke atas. Dengan jari tangannya yang gemetar dideru nafsu Thoyib melucuti sempak Aisiah melalui kedua kakinya yang menjulang tinggi di atas kasur.
Lalu kedua betisnya yang putih mulus dan halus itu dicengkeram erat-erat oleh tangan Thoyib untuk kemudian dibuka mengangkang seperti kaki katak. Setelah kedua selopnya dilepas, kini sempurnalah sudah ketelanjangan gadis belia cantik ini memperlihatkan seluruh bagian di tubuhnya.
Dalam posisi sedemikian rupa, keempat lelaki itu kini dapat melihat seutuhnya bagian-bagian terlarang dari si kembang desa. Sementara gadis itu sungguh merasa malu mengetahui tubuhnya yang telanjang menjadi tontonan gratis dan menarik bagi lelaki-lelaki itu. Sedu sedannya tak juga berhenti meratapi nasibnya yang malang. Kedua belah paha Aisiah terbuka sudah menampakkan bagian yang paling pribadi ditubuhnya. Selangkangannya dihiasi oleh dua lubang keintimannya, lubang yang tampak segaris nan dihiasi oleh bulu-bulu halus itu adalah lubang kemaluannya.
Selama ini ia hanya mempergunakannya semata-mata menuntaskan hajatan untuk pipis saja. Sementara lubang yang satunya lagi adalah lubang anusnya nan digunakan untuk pelepasan. Kedua lubang itu berwarna merah muda dan terukir indah disela-sela pahanya.
"Hmm..benar-benar indah.. dan juga wangi.." puji datuk melihat kemaluan dan pantat dara itu sambil sesekali membaui selangkangan gadis muda belia nan cantik itu.
"Dan semuanya hanya untuk datuk.." sembah Thoyib kepada datuk.
Tubuh Aisiah seperti telah menjadi ajang pertaruhan tebusan atas keselamatan nyawa kekasihnya dan berhak diperlakukan sesuka hati. Bagaikan diperhamba saja, kedua ibu jari kekar milik si datuk dengan leluasa membuka perlahan kedua belah bibir kemaluan Aisiah seperti orang yang sedang membelah duren. Aroma khas yang terpancar dari dalam lubang intim gadis itu semakin nyata di hidungnya, seiring dengan terbukanya area belahan dalam liang untuk sanggama milik si bunga desa ini. Terlihatlah isi bagian dalam lubang surganya yang berbentuk celah daging merah menyala, dan yang membuat hati datuk itu menjadi senang adalah tatkala ia menemukan selaput dara Aisiah masih menjaga dengan utuh jalan masuk kedalam liang kemaluannya nan memukau.
"Betapa bodohnya engkau Dimas..punya tunangan secantik ini kau sia-siakan hanya demi adat dan tata krama yang kaku.. sehingga kau tak berkesempatan lagi untuk menjadi yang pertama bagi gadismu sendiri..kasihan sekali engkau Dimas..karena keperawanan gadismu inilah yang pertama kali akan kucicipi.. akulah lelaki pertama yang akan menundukkan gadismu.. yang akan membuatnya akan selalu mengenang malam ini dalam hidup dan kehidupannya.. hehehe Aisiah.. engkau akan jadi milikku sekarang!" gumam si datuk penguasa di dalam hati.
Telapak kaki gadis ini bergetar ketakutan dalam cengkeraman tangan Thoyib yang terus memegangi agar posisi kaki indah Aisiah tidak berubah sama sekali. Sekilas lelaki kontet yang buruk rupa itu teringat saat mengamati gadis yang diam-diam telah dicintainya ini sedang pergi ke sawah melewati pelataran. Ia sering melihat telapak kaki indah ini melangkah di pematang sawah dan meninggalkan jejak-jejak mungil di sana. Juga saat gadis ini sedang pipis di sungai, Thoyib selalu mengintip setiap ada kesempatan dan selalu hanya bisa membayangkan dari jauh bentuk kemaluan gadis ini.
Namun kini ia dapat melihat dengan jelas telapak kaki dara belia nan cantik ini dengan sepuas hatinya dari jarak dekat tengah mengangkang di hadapannya dan datuk, serta menyaksikan dengan jelas pula bagaimana bentuk lubang kemaluan Aisiah tanpa harus capek-capek mengkhayal lagi. Sebenarnya dalam lubuk hati Thoyib yang paling dalam tidak rela gadis ini terjatuh ke tangan datuk penguasa, namun demi kesetiaannya kepada si datuk, dengan sangat berat hati ia berusaha menenangkan hatinya sendiri merelakan gadis yang dicintainya ini dipersembahkan untuk kesenangan tuannya.
"Tenang Thoyib, nanti engkau juga akan kubagi selepas ini.." itulah jawaban datuk yang sepertinya tahu apa nan tengah berkecamuk dalam hati lelaki kontet ini seraya mendekatkan mulutnya ke celah kemaluan Aisiah, mengeluarkan lidahnya dan mulai menjilati lubang sanggama gadis itu dengan lahap.
Dijanjikan seperti itu membuat Thoyib makin bersemangat melaksanakan tugasnya mencengkeram kaki indah si gadis desa. Sementara datuk melaksanakan aksinya mengulas lidahnya ke dalam liang kegadisan dara belia ini. Apa yang dirasakan Aisiah adalah sesuatu yang aneh mengalir dalam darah ditubuhnya. Suatu rasa baru yang perlahan-lahan semakin mengusik kalbunya, membangkitkan gairah kewanitaannya, membelai lembut urat-urat keperawanannya nan berkutat mendesak birahi mudanya. Arus syahwat yang mengusap keintimannya itu tambah lama menguat membobol dinding-dinding pertahanan nafsunya sendiri
Sekian lama bertahan anunya diolesi lidah lelaki gemuk yang tinggi besar ini, membuat kakinya semakin menggigil. Akhirnya gadis itu melepaskan bendungannya dalam ribaan cairan lendir kegadisannya nan mulai membasahi isi liang sanggamanya.
"Nngghh..ouhh..." perlahan mulai terdengar desahan Aisiah di antara rengkuhan kedua lelaki ini. Sementara Rojali dan Asep, kedua centeng itu tak tahan pula menyaksikan adegan tersebut. Mereka berdua serta merta mengeluarkan batang pelirnya dari dalam sarung untuk kemudian mengocok-ngocok dengan tangan mereka masing-masing sambil terus menatap tontonan gratis tersebut.
"Mmmmhh..srut..srut..enak sekali kemaluanmu sayanggghh.." puji datuk disela-sela ritual jilatannya pada memek gadis itu. Lidahnya mulai merambah kearah muara kemaluan gadis itu yang berlabuh di umbai itilnya nan merupakan bagian penting dalam tubuh wanita yang sangat berperan untuk kesempurnaan hubungan intim. Kelentit wanita muda itu dijilati turun naik, kiri kanan dan kadang berputar, datuk benar-benar telah tahu titik kelemahan dari keintiman si bunga desa ini.
Lidahnya seakan bermain menarik dan mengulur mendera siksa birahi keperawanan Aisiah yang mulai terjangkiti rasa gatal di kemaluannya yang semakin hangat dan memanas ingin segera digaruk dinding lorong bagian dalamnya itu, habislah sudah pertahanan gadis itu.
"Ohh..mmhhh.. nnggh.." semakin jelas desahan si bunga desa ini.
Thoyibpun sudah sangat terangsang sekali akan tubuh telanjang Aisiah yang tengah dicucupi memeknya oleh datuk. Tapi ia berusaha menahan walaupun merasa begitu tersiksa sekali. Pelir dalam sarungnyapun sudah menggeliat-geliat dalam kepitan pada panggul gadis itu mendesak-desak pinggul Aisiah. Lendir memek gadis cantik itu semakin banyak keluar dari dalam liang keintiman yang masih perawan ini dan baru kali ini terjamah oleh lidah lelaki, yakni si datuk yang beruntung malam ini.
Tanpa sadar Thoyibpun mengeluarkan lidahnya dan menjilati lubang anus Aisiah yang sedari tadi tampak kembang kempis berkedutan. Kini wajah kedua lelaki itu memenuhi selangkangan gadis itu yang terbuka lebar seperti berebutan laksana dua serigala lapar yang tengah berbagi jatah daging korbannya nan sudah tak berdaya ini.
"Maafkan aku datuk..aku tak tahan lagi..gadis ini terlalu memikat hatiku datuk..mmhh.. ohh.. lubang pantatnya.. ss..sedap sekalii..sihhh.." sadar Thoyib dari kelancangannya mengambil giliran.
"Mmmhh..srut..tak apa Thoyib..tak apa..mmh..srut..sshh.." datukpun tampaknya sudah tak peduli lagi akan Thoyib. Ia terus memusatkan pikirannya pada birahinya sendiri menyeruput lubang surga gadis itu.
"Datuk..aku ingin menjilati kemaluannya juga nih..sshh..." pinta Thoyib yang mengiba dalam birahinya.
Datukpun segera membangunkan tubuh Aisiah. Tubuh telanjang gadis belia itu kini dipaksa berlutut menduduki wajah Thoyib yang terbaring menelentang di kasur. Lubang selangkangan Aisiah tepat berada dalam mulutnya. Kini ia dapat menjilati memek gadis yang masih perawan ini pula.
Sementara datuk juga berlutut sambil memeluk tubuh gadis itu bagian atas, menciumi bibir gadis itu, memasukkan lidah ke dalamnya dan bermain-main di sana seraya tangan kanannya mengusap-usap serta mulai memilin-milin puting merah muda payudara kiri milik gadis itu yang menggantung di dadanya. Dari bawah hidung Thoyib seakan tenggelam dalam rimbunan jembut terlarang gadis bunga desa cantik ini dan tak henti-hentinya menjilati klentit Aisiah yang merekah dalam ketelanjangannya dengan rambut tergerai-gerai.
Mata gadis itu mulai sendu mendayu-dayu sayu dalam linangan hasrat nikmat pemanasan di ritual malam pertamanya ini.
"Pelan Thoyib..pelannn.. hati-hati..nanti keperawanan gadis ini hilang oleh lidahmu..sayang khan?" pesan datuk kepada Thoyib yang berusaha menusuk-nusukan lidahnya kedalam lubang memek dara belia itu.
"Iyahh..datuk..maaf..hmmm..srut habis memeknya enak banget nihh..jadi lupa kalau dia masih perawan..ssshhh mmmhh," jawab Thoyib dari bawah.
Segera dibukanya lubang surga Aisiah dengan jarinya, takut-takut kalau selaput dara gadis belia cantik ini telah kebablasan termakan oleh lidahnya sendiri saking tak kuasa menahan nafsunya.
"Tenang..datuk..masih ada koq nihh.." sanggahnya di antara mulutnya yang tertutup oleh kedua belah paha sang dara jelita.
Lelaki penguasa itu semakin ganas pula memanasi gadis belia cantik itu. Ciumannya turun sudah ke belahan dada Aisiah dan mulai mengemot kedua belah payudara gadis itu bergantian kiri dan kanan sehingga membuat gadis itu mulai merem melek. Dari mulutnya keluar desahan yang mendesis seperti orang yang sedang kepedasan.
"Ssshhh..ouhhh..ssshh..aahhh..jangan ouh..shhh..sudahh..ahhh," rengek Aisiah yang membuat keempat lelaki itu semakin bernafsu saja.
Bahkan Asep dan Rojali tambah semangat mengurut-urut pelirnya masing-masing. Tapi percumalah tampaknya, biar bagaimanapun harus dituntaskan pula lewat persetubuhan daripada hanya didapat dari kepuasan melihat saja. Untuk itulah Asep dan Rojali segera bergabung mengapit tubuh telanjang Aisiah dari kiri dan kanan. Asep memaksa tangan kanan gadis manis itu untuk menggenggam batang pelirnya yang mengacung sejak tadi itu. Dibimbingnya jari jemari si bunga desa ini bagaimana mengurut serta mengocok-ngocok batang kejantanannya itu. Aisiahpun terkesiap saat pertama kali memegang kepunyaan lelaki Tapi tak berlangsung lama, sebab di kirinya sudah ada Rojali yang juga meminta tangan kirinya mengocok-ngocok batang kemaluannya juga.
Dalam sekejap kedua batang pelir sudah berada dalam genggaman tangan dara muda belia ini. Jari jemarinya yang lentik nan biasa digunakan untuk memetik batang padi disawah kini telah berubah fungsinya mengambil alih untuk melayani kedua centeng itu sambil tubuhnya tak henti-hentinya dicumbui oleh si datuk dan si Thoyib. Penguasapun tak mau kalah, ia menundukkan kepala gadis kembang desa ini dan menyorongkan pelirnya yang tampak paling besar diantara mereka berempat.
"Ayo jilatin punyaku..Aisiah," paksa si datuk yang walaupun bertubuh gemuk tapi mempunyai kemaluan yang besar dan perkasa. Gadis itu panik, tak pernah ia melakukan hal itu, ada nada penolakan dari wajahnya, tapi tangann penguasa telah ketat mencengkeram batok kepalanya.
"Ampun datuk..jangan...? mohon gadis itu memelas.
"Harus! Ayo buka mulutmu! Cepat! Atau mau kekasihmu mati?!" ancam si penguasa.
Dara itu ketakutan dan segera membuka bibir mulutnya yang mungil nan langsung dihujamkan oleh pelir si datuk itu, dalam sekejap mata ujung pelir yang berbentuk seperti kepala jamur itu dan separuh batangnya memenuhi isi dalam mulut gadis belia ini.
"Ssshhh aahhh..hangaaat.." puji datuk lagi mendapati pelirnya yang separuh terbenam kedalam mulut mungil Aisiah.
"Mmmppphh..hofff hmmpph.." dara cantik itu telah menungging posisinya kini dengan mulut penuh oleh pelir si datuk dan kedua tangannya masih tak lepas mengocok-ngocok pelir Asep dan Rojali kiri dan kanan.
Tangan Asep dan Rojali kini meremas-remas kedua bukit payudara gadis si bunga desa ini yang tergantung indah itu serta memilin-milin puting merah muda yang sudah basah dikemot oleh ludah si datuk. Thoyib yang tadi rebahan di bawah bangun dari posisinya dan duduk bersila di belakang pantat gadis itu yang sedang menungging. Kini ia lebih jelas membuka kembali lubang memek dan anusnya Aisiah untuk dijilatinya kembali. Setiap kali ketiga lelaki itu memberi kenikmatan pada tubuh gadis belia tersebut, Thoyiblah yang harus menanggung resikonya kebanjiran lelehan cairan nikmat surgawi dari memek dara belia cantik itu dimulut dan lidahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar